Seorang bocah berpakaian lusuh terlihat mengusap
peluh yang membasahi dahi dan pipinya. Pada pelataran sebuah mesjid, langkahnya
terhenti. Disadarinya bahwa hari sudah semakin siang. Tapi sejak pagi belum ada
satu orangpun yang meminta jasa Andi -bocah tersebut- untuk menyemirkan sepatu
miliknya. Siswa kelas lima SD itu menatap dengan lesu kotak berisi peralatan
semirnya. Kalau hari ini dia tidak pulang membawa uang, pasti ayahnya akan memarahinya lagi.
Sudah tiga hari ini Andi selalu pulang dengan membawa hasil yang sangat
sedikit. Kerja keras Andi setiap hari sangat menentukan apakah hari itu dia dan
ayahnya bisa makan atau tidak. Ayahnya yang seorang pengangguran dan pemabuk
menjadikan bocah itu sebagai tulang punggung keluarga setelah ibunya yang biasa
berjualan, meninggal dunia beberapa bulan yang lalu.
"Maaf, Om, sudah jam berapa ya sekarang?" tanya Andi pada seorang pria muda yang
melintas di depannya.
"11.45,
Dik," sahut pria muda yang bernama Umar tersebut setelah melirik arloji di
pergelangan tangannya.
"Berarti
sebentar lagi azan zuhur. Terima kasih ya, Om." Andi memutuskan untuk
tidak meneruskan lagi aktivitasnya menawarkan jasa semir sepatu dan memilih
melepas lelah di mesjid sambil menunggu waktu salat zuhur tiba.
"Wah, rajin sekali salatmu,
Dik."
"Dulu Ibu selalu mengajarkan saya
untuk tidak menunda waktu salat, Om."
"Begitu ya?" Diam-diam Umar
mengagumi sosok bocah yang sedang mengobrol dengannya itu.
Sangat jarang dia temui seorang bocah
seperti Andi. Meski usianya masih sangat muda di tengah aktivitasnya mencari
nafkah, tidak membuatnya melalaikan kewajiban sebagai seorang muslim.
"Omong-omong, sudah keliling kemana
aja, Dik? Dari pagi ya?"
"Iya, Om. Cuma di ruko depan sama di
sekitar perkantoran situ," ujar Andi sambil jarinya menunjuk ke suatu
arah.
"Udah banyak dong nih
dapatnya?" canda Umar.
"Belum dapat nih. Belum rejeki
kali, Om. He he.."
Tak terasa waktu zuhurpun tiba. Setelah
suara azan selesai diperdengarkan, Andi bergegas meletakkan kotak peralatan
semirnya di dekat tangga mesjid. Bersama Umar, ia lalu berjalan menuju tempat
mengambil wudu untuk mensucikan tubuh dari hadas dan bersiap menjalankan salat.
*****
"Kamu masih mau keliling lagi, Dik?"
tanya Umar setelah mereka selesai melaksanakan salat zuhur.
"Enggak kok, Om. Saya mau langsung
pulang aja. Soalnya harus berangkat ke sekolah. Saya masuk siang, Om,"
sahut Andi sambil menyampirkan kotak peralatan semir ke bahunya.
"Jadi kamu masih sekolah,
Dik?" tanya Umar lagi.
"Iya. Kalau begitu saya pamit ya,
Om. Mari, Om. Assalammu'alaikum."
"Oke. Hati-hati ya di jalan.
Wa'alaikumsalaam."
Sebenarnya Umar masih ingin lebih lama
lagi mengobrol dengan Andi. Masih banyak hal yang menarik perhatiannya untuk ia
perbincangkan dengan bocah istimewa itu. Namun ia sadar, keinginannya tersebut
tentu akan sangat mengganggu bagi Andi yang hanya punya waktu sedikit untuk
bersiap berangkat sekolah.
"Andai ada hal lebih bernilai yang
bisa kulakukan untuk anak itu," sesal Umar dalam hati ketika melihat
sandal jepitnya. Jika saja ia membawa sepatunya, tentu sudah ia minta semirkan
pada Andi.
Tak lama kemudian, Umar berlalu
meninggalkan mesjid menuju kantor tempatnya bekerja yang berjarak hanya
beberapa meter dari situ.
*****
Sudah sampai di depan rumah, namun Andi masih ragu
untuk melangkah masuk. Masih terbayang wajah Ayahnya yang akan memarahinya
habis-habisan. Kemarin saja ketika membawa uang sedikit, ayahnya sudah demikian
marah. Apalagi hari ini, tak sepeserpun yang bisa ia bawa pulang ke rumah.
Sebenarnya tadi bisa saja Andi
melambatkan pulang, mungkin saja ada jemaah mesjid yang ingin menggunakan
jasanya. Namun ia tak ingin terlambat tiba di sekolah, karena hari ini ada
ulangan.
Ditambah dengan kondisi perutnya yang
kosong karena belum diisi sejak pagi, membuat kepalanya terasa pusing. Namun dengan
mengucap bismillah, dipaksakan juga kakinya untuk melangkah masuk. Namun
sepertinya ia tak cukup kuat, hingga hanya sanggup berjalan beberapa meter saja
sebelum akhirnya ambruk ke lantai teras.
"Andiii... Kamu kenapa, Nak?
Bangun, Sayang.." Tergopoh-gopoh Burhan keluar rumah setelah mendengar
suara keras ketika Andi pingsan tadi.
Ayah Andi itu merasa khawatir dengan
kondisi anaknya. Tak henti-hentinya ia histeris dan berusaha membangunkan Andi.
Segera diangkatnya tubuh putra semata wayangnya tersebut, lalu dibaringkannya
ke sebuah sofa panjang di ruang tamu. Baru saja hendak melangkah untuk
mengambil minyak angin, tiba-tiba Andi terbangun dari pingsannya lalu mencoba
bangkit dari posisi berbaringnya.
"Kamu sakit, Nak? Barusan kamu
pingsan." Burhan duduk di samping Andi, lalu memeluk dan mengusap lembut
kepala putranya tersebut.
"Kamu pasti capek. Sebentar Ayah
buatkan minuman hangat dulu ya untukmu."
"Tidak usah, Ayah. Nanti Andi buat
sendiri aja. Andi enggak apa-apa kok. Cuma pusing sedikit."
"Jangan bilang enggak apa-apa, Nak.
Kamu pingsan tadi. Sudah, Ayah mau buatkan sekarang. Kamu tunggu sebentar
ya.." pesan Burhan. Tak lama kemudian ia berlalu menuju dapur.
Seperti mendapat kejutan, Andi merasa
sedikit heran sekaligus senang dengan perubahan sikap ayahnya itu. Sejak
kepergian ibunya, baru kali ini Burhan bersikap lemah lembut tidak seperti
biasanya. Andi merasa perhatian dan kasih sayang yang dulu hilang dari ayahnya,
kini ia dapatkan kembali. Hal ini membuatnya lupa akan kondisi kesehatannya. Seolah
mendapatkan energi baru, ia merasa kembali sehat seperti semula.
Ia kemudian bangkit dari duduknya.
Teringat pada kotak peralatan semirnya, membuatnya melangkah menuju teras
rumah.
Bermaksud untuk memindahkan kotak
tersebut ke dalam rumah, tiba-tiba ia terkejut ketika melihat selembar uang
lima puluh ribuan yang terlipat beberapa bagian di dalam kotak. Seseorang entah
siapa telah memasukkan uang yang bagi Andi cukup besar itu tanpa
sepengetahuannya.
"Ayo, Nak. Diminum dulu tehnya.
Lumayan untuk menghangatkan tubuhmu. Kamu pasti belum makan apa-apa kan?"
ajak Burhan setelah kembali dari dapur kemudian meletakkan segelas teh di atas
meja ruang tamu.
"Tapi hari ini kita akan makan
enak, Ayah. Lihat ini, ada seorang dermawan yang menyisihkan rezekinya," terang
Andi sambil menunjukkan lembaran uang yang ditemukannya tadi.
"Alhamdulillaaah..” seru Burhan.
Ia merasa terharu dan semakin malu
terhadap dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa selama ini perangainya sangat
buruk. Segala yang terjadi hari ini seolah mengingatkan kembali betapa
beruntungnya ia memiliki putra yang teramat saleh. Rezeki mereka melalui
perantaraan seorang dermawan pun tentunya tak terlepas dari kesalehan putranya
tersebut. Ia sekarang percaya bahwa Allah akan selalu menjaga dan mencukupi rezeki
hambanya yang selalu memelihara ibadah terutama salatnya.
“Nak, ada hal yang ingin Ayah bicarakan
padamu. Ke marilah..” ajak Burhan sambil menuntun Andi masuk ke dalam rumah.
“Ayah sadar selama ini telah bersikap
buruk terhadapmu. Padahal kamu sudah berbuat banyak hal untuk keluarga kita,
tapi Ayah seolah tak melihatnya. Ayah malah sibuk dengan perbuatan yang tidak
baik. Selalu marah-marah, mabuk-mabukan,…” lanjut Burhan.
“Sudahlah, Ayah. Yang penting Ayah janji
tidak akan mengulanginya lagi ya?” potong Andi.
“Kamu mau kan maafin Ayah?”
“Andi selalu maafin Ayah kok. Andi
sayang sama Ayah.”
“Makasih Sayang. Ayah juga sayang Kamu,
Nak. Oya besok Ayah mau nemuin Wak Haji, siapa tahu ada lowongan sopir buat
Ayah.”
Betapa luar biasa senangnya Andi. Bagi
Andi, tiada yang lebih membahagiakan hatinya selain mendapatkan kasih sayang
dari ayahnya. Meski hari ini harus merasakan kelelahan hingga menyebabkan ia
jatuh pingsan, namun terbayar dengan perubahan sikap yang ditunjukkan oleh
ayahnya. Pingsannya ia dan rezeki yang didapatnya hari ini memberi pelajaran berharga pada ayahnya. Apa yang menjadi doa Andi selama ini supaya diberikan kemudahan dalam
hidupnya termasuk agar Allah menurunkan hidayah kepada Ayahnya, akhirnya
dikabulkan. Seperti salat lima waktu yang selalu ia jaga, Andi percaya bahwa Allah
akan selalu menjaga serta melindungi ia dan ayahnya dari segala kesusahan.
QS. Al-Baqarah : 45
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan jalan sabar
dan mengerjakan sholat; dan sesungguhnya sholat itu amatlah berat
kecuali kepada orang-orang yang khusyuk. Tiada daya dan upaya kecuali
atas pertolongan Allah semata.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar