Rabu, 05 Maret 2014

Andi dan Hidayah untuk Ayah


Seorang bocah berpakaian lusuh terlihat mengusap peluh yang membasahi dahi dan pipinya. Pada pelataran sebuah mesjid, langkahnya terhenti. Disadarinya bahwa hari sudah semakin siang. Tapi sejak pagi belum ada satu orangpun yang meminta jasa Andi -bocah tersebut- untuk menyemirkan sepatu miliknya. Siswa kelas lima SD itu menatap dengan lesu kotak berisi peralatan semirnya. Kalau hari ini dia tidak pulang membawa uang, pasti ayahnya akan memarahinya lagi. Sudah tiga hari ini Andi selalu pulang dengan membawa hasil yang sangat sedikit. Kerja keras Andi setiap hari sangat menentukan apakah hari itu dia dan ayahnya bisa makan atau tidak. Ayahnya yang seorang pengangguran dan pemabuk menjadikan bocah itu sebagai tulang punggung keluarga setelah ibunya yang biasa berjualan, meninggal dunia beberapa bulan yang lalu.

"Maaf, Om, sudah jam berapa ya sekarang?" tanya Andi pada seorang pria muda yang melintas di depannya.

"11.45, Dik," sahut pria muda yang bernama Umar tersebut setelah melirik arloji di pergelangan tangannya.

"Berarti sebentar lagi azan zuhur. Terima kasih ya, Om." Andi memutuskan untuk tidak meneruskan lagi aktivitasnya menawarkan jasa semir sepatu dan memilih melepas lelah di mesjid sambil menunggu waktu salat zuhur tiba.

"Wah, rajin sekali salatmu, Dik."

"Dulu Ibu selalu mengajarkan saya untuk tidak menunda waktu salat, Om."

"Begitu ya?" Diam-diam Umar mengagumi sosok bocah yang sedang mengobrol dengannya itu.

Sangat jarang dia temui seorang bocah seperti Andi. Meski usianya masih sangat muda di tengah aktivitasnya mencari nafkah, tidak membuatnya melalaikan kewajiban sebagai seorang muslim.

"Omong-omong, sudah keliling kemana aja, Dik? Dari pagi ya?"

"Iya, Om. Cuma di ruko depan sama di sekitar perkantoran situ," ujar Andi sambil jarinya menunjuk ke suatu arah.

"Udah banyak dong nih dapatnya?" canda Umar.

"Belum dapat nih. Belum rejeki kali, Om. He he.."

Tak terasa waktu zuhurpun tiba. Setelah suara azan selesai diperdengarkan, Andi bergegas meletakkan kotak peralatan semirnya di dekat tangga mesjid. Bersama Umar, ia lalu berjalan menuju tempat mengambil wudu untuk mensucikan tubuh dari hadas dan bersiap menjalankan salat.

*****
 
"Kamu masih mau keliling lagi, Dik?" tanya Umar setelah mereka selesai melaksanakan salat zuhur.

"Enggak kok, Om. Saya mau langsung pulang aja. Soalnya harus berangkat ke sekolah. Saya masuk siang, Om," sahut Andi sambil menyampirkan kotak peralatan semir ke bahunya.

"Jadi kamu masih sekolah, Dik?" tanya Umar lagi.

"Iya. Kalau begitu saya pamit ya, Om. Mari, Om. Assalammu'alaikum."

"Oke. Hati-hati ya di jalan. Wa'alaikumsalaam."

Sebenarnya Umar masih ingin lebih lama lagi mengobrol dengan Andi. Masih banyak hal yang menarik perhatiannya untuk ia perbincangkan dengan bocah istimewa itu. Namun ia sadar, keinginannya tersebut tentu akan sangat mengganggu bagi Andi yang hanya punya waktu sedikit untuk bersiap berangkat sekolah.

"Andai ada hal lebih bernilai yang bisa kulakukan untuk anak itu," sesal Umar dalam hati ketika melihat sandal jepitnya. Jika saja ia membawa sepatunya, tentu sudah ia minta semirkan pada Andi.

Tak lama kemudian, Umar berlalu meninggalkan mesjid menuju kantor tempatnya bekerja yang berjarak hanya beberapa meter dari situ.

*****
 
Sudah sampai di depan rumah, namun Andi masih ragu untuk melangkah masuk. Masih terbayang wajah Ayahnya yang akan memarahinya habis-habisan. Kemarin saja ketika membawa uang sedikit, ayahnya sudah demikian marah. Apalagi hari ini, tak sepeserpun yang bisa ia bawa pulang ke rumah.

Sebenarnya tadi bisa saja Andi melambatkan pulang, mungkin saja ada jemaah mesjid yang ingin menggunakan jasanya. Namun ia tak ingin terlambat tiba di sekolah, karena hari ini ada ulangan.

Ditambah dengan kondisi perutnya yang kosong karena belum diisi sejak pagi, membuat kepalanya terasa pusing. Namun dengan mengucap bismillah, dipaksakan juga kakinya untuk melangkah masuk. Namun sepertinya ia tak cukup kuat, hingga hanya sanggup berjalan beberapa meter saja sebelum akhirnya ambruk ke lantai teras.

"Andiii... Kamu kenapa, Nak? Bangun, Sayang.." Tergopoh-gopoh Burhan keluar rumah setelah mendengar suara keras ketika Andi pingsan tadi.

Ayah Andi itu merasa khawatir dengan kondisi anaknya. Tak henti-hentinya ia histeris dan berusaha membangunkan Andi. Segera diangkatnya tubuh putra semata wayangnya tersebut, lalu dibaringkannya ke sebuah sofa panjang di ruang tamu. Baru saja hendak melangkah untuk mengambil minyak angin, tiba-tiba Andi terbangun dari pingsannya lalu mencoba bangkit dari posisi berbaringnya.

"Kamu sakit, Nak? Barusan kamu pingsan." Burhan duduk di samping Andi, lalu memeluk dan mengusap lembut kepala putranya tersebut.

"Kamu pasti capek. Sebentar Ayah buatkan minuman hangat dulu ya untukmu."

"Tidak usah, Ayah. Nanti Andi buat sendiri aja. Andi enggak apa-apa kok. Cuma pusing sedikit."

"Jangan bilang enggak apa-apa, Nak. Kamu pingsan tadi. Sudah, Ayah mau buatkan sekarang. Kamu tunggu sebentar ya.." pesan Burhan. Tak lama kemudian ia berlalu menuju dapur.

Seperti mendapat kejutan, Andi merasa sedikit heran sekaligus senang dengan perubahan sikap ayahnya itu. Sejak kepergian ibunya, baru kali ini Burhan bersikap lemah lembut tidak seperti biasanya. Andi merasa perhatian dan kasih sayang yang dulu hilang dari ayahnya, kini ia dapatkan kembali. Hal ini membuatnya lupa akan kondisi kesehatannya. Seolah mendapatkan energi baru, ia merasa kembali sehat seperti semula.
Ia kemudian bangkit dari duduknya. Teringat pada kotak peralatan semirnya, membuatnya melangkah menuju teras rumah.

Bermaksud untuk memindahkan kotak tersebut ke dalam rumah, tiba-tiba ia terkejut ketika melihat selembar uang lima puluh ribuan yang terlipat beberapa bagian di dalam kotak. Seseorang entah siapa telah memasukkan uang yang bagi Andi cukup besar itu tanpa sepengetahuannya.

"Ayo, Nak. Diminum dulu tehnya. Lumayan untuk menghangatkan tubuhmu. Kamu pasti belum makan apa-apa kan?" ajak Burhan setelah kembali dari dapur kemudian meletakkan segelas teh di atas meja ruang tamu.

"Tapi hari ini kita akan makan enak, Ayah. Lihat ini, ada seorang dermawan yang menyisihkan rezekinya," terang Andi sambil menunjukkan lembaran uang yang ditemukannya tadi.

"Alhamdulillaaah..” seru Burhan.

Ia merasa terharu dan semakin malu terhadap dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa selama ini perangainya sangat buruk. Segala yang terjadi hari ini seolah mengingatkan kembali betapa beruntungnya ia memiliki putra yang teramat saleh. Rezeki mereka melalui perantaraan seorang dermawan pun tentunya tak terlepas dari kesalehan putranya tersebut. Ia sekarang percaya bahwa Allah akan selalu menjaga dan mencukupi rezeki hambanya yang selalu memelihara ibadah terutama salatnya.

“Nak, ada hal yang ingin Ayah bicarakan padamu. Ke marilah..” ajak Burhan sambil menuntun Andi masuk ke dalam rumah.

“Ayah sadar selama ini telah bersikap buruk terhadapmu. Padahal kamu sudah berbuat banyak hal untuk keluarga kita, tapi Ayah seolah tak melihatnya. Ayah malah sibuk dengan perbuatan yang tidak baik. Selalu marah-marah, mabuk-mabukan,…” lanjut Burhan.

“Sudahlah, Ayah. Yang penting Ayah janji tidak akan mengulanginya lagi ya?” potong Andi.

“Kamu mau kan maafin Ayah?”

“Andi selalu maafin Ayah kok. Andi sayang sama Ayah.”

“Makasih Sayang. Ayah juga sayang Kamu, Nak. Oya besok Ayah mau nemuin Wak Haji, siapa tahu ada lowongan sopir buat Ayah.”

Betapa luar biasa senangnya Andi. Bagi Andi, tiada yang lebih membahagiakan hatinya selain mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Meski hari ini harus merasakan kelelahan hingga menyebabkan ia jatuh pingsan, namun terbayar dengan perubahan sikap yang ditunjukkan oleh ayahnya. Pingsannya ia dan rezeki yang didapatnya hari ini memberi pelajaran berharga pada ayahnya. Apa yang menjadi doa Andi selama ini supaya diberikan kemudahan dalam hidupnya termasuk agar Allah menurunkan hidayah kepada Ayahnya, akhirnya dikabulkan. Seperti salat lima waktu yang selalu ia jaga, Andi percaya bahwa Allah akan selalu menjaga serta melindungi ia dan ayahnya dari segala kesusahan.


 QS. Al-Baqarah : 45
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan jalan sabar dan mengerjakan sholat; dan sesungguhnya sholat itu amatlah berat kecuali kepada orang-orang yang khusyuk. Tiada daya dan upaya kecuali atas pertolongan Allah semata.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar