1) AKU DAN JALAN SUKSESKU
KESUKSESAN..
KESUKSESAN..
Laksana sebuah
perhiasan berharga yang tidak semua orang bisa memilikinya, tidak juga mudah untuk mendapatkannya. Mungkin demikian kebanyakan orang dalam
memandang sebuah kesuksesan. Kesuksesan selalu diukur dari sejauh mana
kita memperoleh sesuatu yang terlihat menyenangkan, indah, dan
terpenuhinya segala hal yang berhubungan dengan materi.
Tapi
bagiku, kesuksesan adalah bagaimana kita mampu menerima segala
kekurangan dan keterbatasan. Ikhlas menjalani setiap alur kehidupan,
termasuk ketika terjadi ketidaksesuaian antara harapan dan keinginan
dengan kenyataan yang kita dapatkan. Sukses buatku juga berarti mampu
memberikan manfaat bagi orang lain di sekitarnya.
Aku berasal
dari keluarga sederhana. Tinggal bersama kedua orangtua, adik perempuan,
dan keponakan perempuanku. Di antara ketiga saudara kandungku, hanya
aku saja yang beruntung bisa disekolahkan oleh orangtuaku hingga tingkat
pendidikan menengah atas. Kakak-kakakku terpaksa harus menyesuaikan
diri dalam keadaan kekurangan kami pada waktu itu. Mereka hanya mampu
mengenyam pendidikan paling tinggi hanya sampai tingkat menengah
pertama. Kakak perempuanku sudah menikah dan kini tinggal bersama
suaminya. Sedangkan kakak laki-lakiku hanya berprofesi sebagai supir
taksi. Dia sudah menikah juga dan sekarang tinggal bersama anak dan
istrinya, terpisah dari kami.
Aku selalu bermimpi bisa
membahagiakan mereka dan memenuhi segala kebutuhan dan keinginan mereka.
Membelikan rumah untuk kedua orangtuaku, membiayai sekolah adik dan
keponakanku, atau memberikan modal usaha maupun fasilitas yang menunjang
bagi kelangsungan hidup kedua kakakku. Aku mengabaikan impianku sendiri
yang ingin sekolah setinggi-tingginya, bekerja di perusahaan besar dan
bonafit, serta mewujudkan cita-citaku menjadi seorang guru.
Seiring
berjalannya waktu dan apa yang sudah kulalui dalam hidupku, ternyata
niat baikku tak selalu berujung pada apa yang kuharapkan. Tapi aku tetap
sabar dan terus berpegang terhadap apa yang sudah kuniatkan sambil
terus berusaha dan berdoa.
Hingga pada suatu ketika aku
dikenalkan pada seseorang yang berbaik hati memberikan akses dan
kemudahan bagiku untuk bekerja sambil kuliah. Aku tidak menyia-nyiakan
kesempatan emas itu. Kurang lebih selama tiga setengah tahun aku
menyelesaikan kuliahku di sebuah sekolah tinggi ekonomi dan sampai saat
ini setelah hampir sembilan tahun lamanya, aku masih bekerja di
perusahaan yang ditawarkan padaku itu.
Faktor kebutuhan hidup
yang terus meningkat dan kenyataan bahwa aku sudah mampu memberi sesuatu
walau tidak banyak kepada keluargaku, membuatku tetap bertahan bekerja
di sebuah perusahaan manufaktur kecil yang bergerak di bidang otomotif
itu.
Kami kini sudah tidak tinggal di kontrakan lagi, tapi di
sebuah rumah sederhana yang sudah enam tahun aku bayar dengan cara
mencicil. Aku juga mampu membiayai sekolah adikku meski hanya sampai
tingkat menengah atas saja, dan kadang-kadang memberikan bantuan kecil
pada kakak-kakakku termasuk keponakanku. Kini adikku sudah bekerja dan
bergantian membiayai kebutuhan hidup keluargaku.
Sementara
kehidupan pribadiku sendiri sepertinya mengalir begitu saja, sama
seperti ketika tiba-tiba Allah mempertemukanku pada orang baik yang
akhirnya mengubah hidupku sedemikian rupa. Aku aktif menjadi salah satu
pengurus di sebuah serikat pekerja yang memungkinkan untuk berinteraksi
dengan banyak orang dengan beragam karakter, juga menghadapkanku pada
situasi dan kondisi yang tak jarang menimbulkan pertentangan kepentingan
antara pengusaha dan pekerja. Ini menarik sekaligus tantangan bagiku.
Di satu sisi aku mampu mengobati kekecewaanku yang gagal menjadi seorang
guru dengan menjadi mentor dan motivator bagi teman-temanku di serikat,
tapi di sisi lain aku juga harus berani membela dan memperjuangkan
hak-hak pekerja meski bisa saja kehilangan pekerjaan sebagai taruhannya.
Aku
menyadari memang belum sepenuhnya mampu memberikan apa yang dibutuhkan
keluargaku. Tapi aku tak pernah merasa gagal untuk mewujudkan impian dan
cita-citaku. Allah telah memberikanku jalan dengan cara lain untuk
menggapai kesuksesanku, bahkan cara yang sebelumnya tidak pernah
terpikirkan sama sekali olehku.
Aku mungkin gagal meraih
cita-citaku dulu sebagai seorang guru, tapi aku kini menjadi seorang
mentor dan motivator di serikat yang nota bene adalah pengajar juga.
Aku berhadapan dan berinteraksi dengan banyak orang, sedikit sama
dengan yang dilakukan oleh seorang guru.
Aku juga mungkin belum
berhasil mendapatkan pekerjaan di perusahaan besar dan bonafit dengan
jabatan penting, tapi aku kadang duduk satu meja dengan beberapa manajer
sekaligus, bahkan tidak menutup kemungkinan direkturnya sekalipun
ketika terjadi masalah ketenagakerjaan di internal perusahaan kami yang
mengharuskan aku mewakili semua karyawan untuk beradu argumen dan
wawasan hukum dengan para petinggi perusahaan itu. Dalam dunia
perserikatpekerjaaan, kedudukan tim advokasi serikat dengan pihak
perusahaan siapapun orangnya adalah sejajar.
Aku juga menekuni
hobi baruku sebagai penulis. Aku menjadi admin atau pengisi konten di
beberapa fanspage puisi di Facebook, kadang-kadang melayani curahan hati
para member juga di sana. Pada beberapa kesempatan, aku coba
mengembangkan tulisanku itu untuk lomba-lomba menulis, juga
mengikutsertakannya pada seleksi naskah yang akan diterbitkan, yang
artinya tentu akan membuka kesempatanku untuk menjadi penulis
profesional dan menerbitkan buku sendiri. Bagiku meski sederhana, namun
aku rasa karena hobiku itu aku mampu sedikit berkontribusi memberikan
pencerahan bagi orang lain dengan tulisan-tulisan yang kubuat. Dan
bukan tidak mungkin juga aku bisa mendapatkan penghasilan tambahan dari
sebuah hobi.
Demikianlah sedikit yang mampu aku bagi mengenai
pengalaman pribadiku. Apa yang sudah aku lewati dan apa yang kulakukan
semua berawal dari niat dan keinginanku untuk meraih kesuksesan. Namun
seperti yang aku kemukakan tadi di awal, bahwa Allah mengatur jalan
kesuksesan berbeda-beda pada setiap orang. Dan aku sudah merasakannya.
Aku menikmati kesuksesan sebagai sebuah anugerah yang sudah Allah
gariskan sebagai jalan hidupku meski tidak sama persis dengan apa yang
kuharapkan sebelumnya.
Aku kemudian juga mempelajari hal lain
bahwa jalan menuju kesuksesan tidaklah mudah, penuh dengan perjuangan
dan pengorbanan. Butuh beberapa tahun sampai aku bisa menyelesaikan
kuliahku dan membelikan tempat tinggal bagi kedua orangtuaku serta
membiayai adik dan keponakanku. Aku tetap bersabar ketika selama
beberapa waktu aku masih tinggal di kontrakan, tanpa pekerjaan, sampai
kemudian mendapat kesempatan untuk bekerja sambil kuliah. Aku selalu
mencoba memanfaatkan peluang yang ada selama hal itu positif dan mampu
mengembangkan diriku menjadi lebih baik.
Kesuksesan bukanlah apa yang raih, melainkan apa yang kau yakini. Kesuksesan juga bukanlah apa yang kau cari, melainkan apa yang kau ciptakan.
Yakinlah
bahwa kesuksesan selalu menyertaimu dan akan kau dapatkan dengan
perjuangan dan pengorbanan yang kau lakukan. Kesuksesan juga adalah
hasil dari kerja kerasmu. Jika ketekunan dan kerja keras selalu kau
ciptakan, maka itulah arti sebuah kesuksesan.
2) SENYUM DALAM TANGISKU
"Nanti
Aa bawa motorku aja dulu .. Tapi pulangnya jangan terlalu sore ya,
biar aku gak terlalu lama nungguin Aa jemput aku di pabrik." Yuyun
berusaha memberi solusi.
Adikku satu-satunya itu menawarkan
bantuannya meminjamkan Mio miliknya pada hari pertama aku berangkat
kerja tanpa mengendarai Vixionku setelah ku jual untuk melunasi
tunggakan cicilan rumah yang aku, adikku, dan kedua orang tua kami
tempati.
"Udah ah gak usah.. Lagian kan kamu masuknya jam
delapan. Ini masih subuh! Biarin deh Aa mau naik kereta aja,
mudah-mudahan belum telat.." tolakku sambil mengikat tali sepatu
safetyku. Aku sudah hampir selesai mempersiapkan diri menuju Cikarang,
ke pabrik tempatku bekerja. Sengaja aku berangkat lebih awal dari
biasanya, karena aku harus tiba di Cikarang tepat waktu meskipun hari
masih pagi, bahkan sepertinya matahari juga masih belum muncul. Jarak
Karawang-Cikarang memang cukup memakan waktu jika harus kutempuh dengan
menggunakan kendaraan umum. Padahal biasanya, aku selalu berangkat
paling pagi jam setengah tujuh ketika masih mengendarai motorku.
"Tapi
pinjamin Aa dua puluh ribu aja ya.. Buat naik bus kalau nanti
ketinggalan kereta. Nanti gajian diganti deh.. He he.." rayuku.
"Udah
pake aja, gak usah diganti. Ya udah yuk aku anterin ke stasiun.. Lihat,
udah jam setengah enam lewat tuh!" Yuyun mengingatkanku. Aku langsung
bergegas mengambil tasku dan berpamitan pada Ibu dan Bapak.
"Kok
diam aja sih? Udah ah jangan mikirin motor terus.. Besok-besok kan masih
bisa kebeli lagi.." Yuyun mencoba mencairkan kebisuan di antara kami
ketika aku mulai mengendarai Mionya.
"Yeh, siapa yang lagi
mikirin motor? Oya hari Minggu besok gak kemana-mana kan? Aa pinjam
motormu ya.. Ada perlu ke Bekasi nih" protesku sambil berusaha
mengalihkan pembicaraan.
"Enggak kok. Pake aja.." jawab Yuyun.
"Sip deh. Makasiiih.." ujarku sambil tersenyum.
Ya, senyum. Senyum di antara tangisan hatiku. Aku seorang laki-laki yang
tak mungkin memperlihatkan kesedihanku pada orang lain, terutama
keluargaku sendiri. Aku memang ikhlas merelakan motorku untuk dijual.
Tapi tetap saja merasa sedih ketika hartaku satu-satunya yang kucicil
dengan susah payah itu, begitu lunas malah harus berpindah tangan. Aku
bersedih karena mungkin akan sering-sering mengganggu adikku yang sedang
menikmati gajinya yang sudah mulai bertambah.
Namun aku masih
bersyukur karena sekarang beban hidupku semakin berkurang sesudah adikku
menamatkan sekolah kejuruannya dan mulai bekerja di salah satu pabrik
garmen di Karawang. Aku selalu bisa tersenyum setiap teringat betapa
dulu aku berjuang keras membiayai sekolah adikku sampai lulus, bahkan
tak jarang kebutuhan pribadinya hingga hal-hal yang terkecil sekalipun.
3) KAKEK DI SEBUAH GERBONG KERETA
Entah mengapa aku selalu merasa trenyuh jika melihat atau mendengar tentang perjuangan seorang kakek yang masih saja harus bekerja keras mencari
nafkah. Mungkin karena aku jadi teringat ayahku sendiri. Padahal menurutku, mereka seharusnya hanya berdiam diri dan
bersantai di rumah menikmati masa tuanya. Bukan malah bersusah payah untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya, apalagi jika kondisi fisiknya sudah
benar-benar tidak memungkinkan lagi.
Seperti kisahku kali ini. Tentang seorang kakek penjual abu gosok yang ku temui di sebuah kereta. Dua hari yang lalu ketika aku pulang dari sebuah acara di daerah Cikarang, Bekasi menuju rumahku di Karawang, aku tertarik menyimak sebuah percakapan antara seorang ibu setengah baya dengan seorang kakek renta di salah satu gerbong. Tadinya aku tidak terlalu menyimak apa yang sedang mereka perbincangkan. Apalagi suasana di dalam kereta ekonomi patas jurusan Jakarta-Purwakarta di hari Minggu itu cukup padat tak seperti biasanya (menurut sebagian orang sih penumpangnya rata-rata yang baru saja pulang dari arena Pekan Raya Jakarta/PRJ).
Ternyata si Kakek baru saja kembali dari Jakarta, tapi bukan dari PRJ
juga, melainkan dari tempatnya berjualan di sekitar Jatinegara kalau aku
tidak salah dengar. Kakek yang sudah tidak memiliki gigi lagi dengan
tubuh kurus dan ringkih itu sedang dalam perjalanan pulang menuju
rumahnya di Pebayuran (mohon maaf, aku kurang paham lokasi ini masih
wilayah Bekasi atau sudah masuk wilayah Karawang). Ya Allah.. Mengapa
kakek itu menempuh jarak sejauh itu hanya untuk berjualan? Aku yang
hanya melakukan perjalanan santai Cikarang-Karawang saja sudah
sedemikian lelahnya.. Hatiku semakin teriris mendengar penuturannya
mengenai dagangan abu gosoknya. Dia mengeluarkan uang sekitar dua puluh
ribu untuk membeli abu tersebut dari pembuatnya, lalu menjualnya lagi
dengan keuntungan total sekitar sepuluh ribu rupiah. Sepuluh ribu?
Mudah-mudahan aku hanya salah dengar saja. Masalahnya ongkos naik kereta
pulang-pergi saja sudah lima ribu, belum lagi katanya biaya ojek dari
stasiun ke rumahnya bisa sampai lima belas ribu. Ah, rasanya benar-benar
tak bisa kupercaya! Belum lagi biaya makannya di Jakarta.. Dalam hati,
aku berharap semoga saja aku memang benar-benar salah dengar, maklum si
kakek ucapannya juga tidak begitu jelas, ditambah lagi suara mesin
kereta yang melawan deru angin, sangat bising sekali.
Yang pasti saat itu aku merasa seperti ada yang mencabik-cabik
jantungku, tenggorokanku tercekat, mataku mulai berkaca-kaca. Kemana
anak-anak dan cucu-cucu si Kakek ini? Mengapa mereka begitu tega
membiarkan orangtuanya bersusah payah seperti ini? Ataukah si Kakek
hanya sebatang kara? Aku lalu melihat si ibu yang dari tadi mengobrol
dengannya, tiba-tiba mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan dan
memberikannya pada si Kakek. Disusul beberapa penumpang lain yang juga
menaruh simpati pada si Kakek. Subhanallah.. Aku sungguh terharu melihat
semua orang saling menebar kebaikan seperti itu. Tapi siapapun yang
melihat si Kakek, aku sangat yakin tak ada yang tidak akan mengulurkan
bantuannya. Bagaimana dengan aku sendiri?
Astaghfirullah.. Aku benar-benar menyesal tidak mampu berbuat seperti
penumpang-penumpang lain. Saat itu aku sudah tidak memegang uang lagi,
karena sudah berpesan untuk dijemput dari stasiun. Aku sudah hendak
bergeser untuk pindah dari tempatku untuk menutupi perasaan maluku,
ketika tiba-tiba ku dengar bahwa si Kakek sudah hendak turun di Stasiun
Kedunggedeh, yang jaraknya hanya dua stasiun dari lokasi aku naik tadi.
Ini kesempatanku untuk bisa berbuat baik juga seperti yang lain. Aku
langsung menuntun si Kakek dari tempat duduknya menuju pintu keluar
gerbong hingga turun sampai pelataran stasiun. Melewati berjubelnya
penumpang yang masih berada di dalam gerbong maupun yang juga
hendak turun di stasiun yang sama dengan si Kakek. Kakek itu tak
henti-hentinya mengucapkan terima kasih. Padahal sungguh aku merasa hal
itu sangat tidak pantas ku terima karena aku hanya mampu memberikan
pertolongan yang tak seberapa, yang bahkan mungkin tidak diperlukan si Kakek. Namun alhamdulillah, hal kecil yang
ku lakukan tadi ternyata cukup melegakan hatiku. Meskipun airmataku
menetes juga akhirnya setelah kereta berlalumeninggalkan stasiun itu.
Maaf, aku sama sekali tidak bermaksud sedikitpun untuk riya atau mengumbar kebaikan yang kalian tahu sendiri tak ada nilainya itu. Aku hanya sekedar berbagi kisah, semoga bisa menjadi renungan dan inspirasi bagi kita semua. Bersegeralah melakukan kebaikan yang ada di hadapanmu sekecil apapun itu. Lalu tularkan kebaikanmu itu pada orang-orang di sekitarmu, sehingga pahala dan berkah Allah akan mengalir di setiap inci perjalananmu, memagarimu dari hal-hal dan pengaruh buruk, serta menjaga hatimu tetap lapang dan damai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar