Selasa, 23 Juli 2013
Sabtu, 20 Juli 2013
TIADA MAAF BAGIMU
"Sungguh biadab! Kamu memang benar-benar
perempuan yang tak tahu diri! Apa kau sadar apa yang telah kau lakukan
itu? Kau telah menghancurkan kepercayaan sekaligus membuatku sakit
hati. Teramat sakit!" amarahku seketika meledak seolah ingin kuluapkan saat itu juga.
"Maafkan aku.. Aku benar-benar menyesal. Ku mohon jangan perlakukan aku seperti ini. Apa sudah tidak ada lagi kesempatan untukku?" kau memohon sambil memegang lenganku. Aku menepisnya.
"Apa katamu? Minta maaf? Sesudah apa yang kau lakukan padaku? Menurutmu bisa semudah itu? Mengapa tak kamu pikirkan terlebih dahulu sebelum kau lakukan perbuatanmu kemarin? Apa kamu lupa, aku pernah bilang tak akan sudi memberikan kesempatan walau hanya sekali saja kepada orang yang sudah mengkhianati kepercayaanku! Lebih baik sekarang kau pergi jauh-jauh dari hidupku! Sana pergi!" aku tak menggubris ratapanmu, bahkan dengan kasar aku mendorong tubuhmu hingga kau jatuh terduduk.
Seolah sudah tak memedulikan apapun, kamu malah memegang kakiku sambil terus memohon padaku. Aku semakin kesal melihatnya. Emosiku malah bertambah naik. Lalu aku berusaha menyingkirkan peganganmu dengan kakiku hingga menyebabkan lenganmu terjatuh ke lantai.
"Sekarang kamu baru tahu kan, apa yang akan kau dapatkan jika sekali saja membuatku sakit hati, hah?!" kataku sambil mencengkeram dagumu, lalu menghempaskannya dengan keras.
"Sekarang lebih baik kau pergi, sebelum aku berbuat lebih kasar lagi. Cepat pergi!" ujarku akhirnya.
Ya, itu yang akan kulakukan padamu nanti. Kurasa masih belum sebanding dengan apa yang sudah kamu lakukan padaku, yang dengan keji telah mencuri lipstikku..
"Maafkan aku.. Aku benar-benar menyesal. Ku mohon jangan perlakukan aku seperti ini. Apa sudah tidak ada lagi kesempatan untukku?" kau memohon sambil memegang lenganku. Aku menepisnya.
"Apa katamu? Minta maaf? Sesudah apa yang kau lakukan padaku? Menurutmu bisa semudah itu? Mengapa tak kamu pikirkan terlebih dahulu sebelum kau lakukan perbuatanmu kemarin? Apa kamu lupa, aku pernah bilang tak akan sudi memberikan kesempatan walau hanya sekali saja kepada orang yang sudah mengkhianati kepercayaanku! Lebih baik sekarang kau pergi jauh-jauh dari hidupku! Sana pergi!" aku tak menggubris ratapanmu, bahkan dengan kasar aku mendorong tubuhmu hingga kau jatuh terduduk.
Seolah sudah tak memedulikan apapun, kamu malah memegang kakiku sambil terus memohon padaku. Aku semakin kesal melihatnya. Emosiku malah bertambah naik. Lalu aku berusaha menyingkirkan peganganmu dengan kakiku hingga menyebabkan lenganmu terjatuh ke lantai.
"Sekarang kamu baru tahu kan, apa yang akan kau dapatkan jika sekali saja membuatku sakit hati, hah?!" kataku sambil mencengkeram dagumu, lalu menghempaskannya dengan keras.
"Sekarang lebih baik kau pergi, sebelum aku berbuat lebih kasar lagi. Cepat pergi!" ujarku akhirnya.
Ya, itu yang akan kulakukan padamu nanti. Kurasa masih belum sebanding dengan apa yang sudah kamu lakukan padaku, yang dengan keji telah mencuri lipstikku..
MASIH CINTA
Sri : "Keterlaluan kamu Mas, aku mesti nunggu sampai setengah jam tadi! Kalo gak bisa jemput, bilang dong! Jadi aku kan gak perlu nunggu kayak orang bego!"
Arya : "Gak usah lebay gitu deh.. Apa salahnya sih cuma nunggu setengah jam aja? Lagian bukan salahku juga dong kalo di jalan tadi kejebak macet?"
Sri : "Tuh kan, kamu selalu gitu.. Terlalu nyepelein dan gak mau disalahin! Aku capek, Mas!"
Arya : "Emangnya aku juga gak capek apa?! Kamu tuh gak pernah berubah. Selalu aja bersikap kayak anak kecil, egois, dan selalu pengen menang sendiri!"
Sri : "Kok kamu bisa bilang kayak gitu sih, Mas? Kamu jahat Mas.. Aku benci sama kamu!"
Arya : "Terserah kamu mau bilang apa. Aku cuma ngomong apa adanya kok. Lagian bukannya tadi kamu bilang udah capek? Apa kita mau berantem terus kayak gini? Gak kan?"
Sri : "Terus, maksud kamu apa Mas? Kamu mau bilang kalo kamu pengen kita putus, gitu?"
Arya : "Loh, bukan aku ya yang bilang, tapi kamu barusan!"
Sri : "Udahlah Mas, gak usah ngelak lagi. Kalo emang itu yang terbaik buat kita, aku rela kok..."
Arya : "Emang kamu rela juga kalo kita gak akan ketemuan lagi?"
Sri : "Ya apa boleh buat...?"
Arya : "Terus, kamu juga rela gak akan ada sapaan lagi dari aku tiap kamu bangun tidur, sms-sms lucu, lagu-lagu cinta yang selalu aku nyanyikan buat kamu waktu mau bobo..."
Sri : "(sedih) Iya.. Dan kita gak akan nonton bareng lagi di bioskop. Makan bakso di Gang Kramat.. Gak ada lagi yang akan bikinin brownis kesukaan kamu, nemenin kamu latihan futsal..."
Arya : "Aduuh... Kayaknya aku gak akan sanggup! Kita jangan putus ya, Beib.. Aku sayang banget sama kamu.. Hu hu hu.." (nangis)
Sri : (nangis juga) "Hu hu hu.. Aku juga sayang banget sama kamu. Maafin aku ya, Mas.."
Arya : "Maafin aku juga ya, Beib.."
(Berpelukaaaan. ...)
Arya : "Gak usah lebay gitu deh.. Apa salahnya sih cuma nunggu setengah jam aja? Lagian bukan salahku juga dong kalo di jalan tadi kejebak macet?"
Sri : "Tuh kan, kamu selalu gitu.. Terlalu nyepelein dan gak mau disalahin! Aku capek, Mas!"
Arya : "Emangnya aku juga gak capek apa?! Kamu tuh gak pernah berubah. Selalu aja bersikap kayak anak kecil, egois, dan selalu pengen menang sendiri!"
Sri : "Kok kamu bisa bilang kayak gitu sih, Mas? Kamu jahat Mas.. Aku benci sama kamu!"
Arya : "Terserah kamu mau bilang apa. Aku cuma ngomong apa adanya kok. Lagian bukannya tadi kamu bilang udah capek? Apa kita mau berantem terus kayak gini? Gak kan?"
Sri : "Terus, maksud kamu apa Mas? Kamu mau bilang kalo kamu pengen kita putus, gitu?"
Arya : "Loh, bukan aku ya yang bilang, tapi kamu barusan!"
Sri : "Udahlah Mas, gak usah ngelak lagi. Kalo emang itu yang terbaik buat kita, aku rela kok..."
Arya : "Emang kamu rela juga kalo kita gak akan ketemuan lagi?"
Sri : "Ya apa boleh buat...?"
Arya : "Terus, kamu juga rela gak akan ada sapaan lagi dari aku tiap kamu bangun tidur, sms-sms lucu, lagu-lagu cinta yang selalu aku nyanyikan buat kamu waktu mau bobo..."
Sri : "(sedih) Iya.. Dan kita gak akan nonton bareng lagi di bioskop. Makan bakso di Gang Kramat.. Gak ada lagi yang akan bikinin brownis kesukaan kamu, nemenin kamu latihan futsal..."
Arya : "Aduuh... Kayaknya aku gak akan sanggup! Kita jangan putus ya, Beib.. Aku sayang banget sama kamu.. Hu hu hu.." (nangis)
Sri : (nangis juga) "Hu hu hu.. Aku juga sayang banget sama kamu. Maafin aku ya, Mas.."
Arya : "Maafin aku juga ya, Beib.."
(Berpelukaaaan. ...)
Jumat, 19 Juli 2013
TEMAN KAMPUSKU HANTU
“Aduh! Hei, hati-hati
dong!” seruku ketika bertabrakan dengan seorang cewek berkacamata di depan
ruang tata usaha (TU). Tak ada sahutan. Orang yang kuajak bicara tadi malah
sibuk memunguti buku dan lembaran-lembaran diktat kuliah yang berserakan usai
insiden tabrakan tadi. Kurapikan rambut panjangku yang sedikit acak-acakan.
“Huh, sombong sekali!
Dasar cupu!” cibirku sambil berlalu tanpa mempedulikan cewek tadi. Salah
sendiri kenapa enggak hati-hati kalau jalan? Masih untung tadi enggak
kumaki-maki tuh orang! Batinku. Aku lalu berjalan menuju taman kampus yang
letaknya beberapa puluh meter sebelah barat ruang TU. Aku tidak langsung pulang
setelah mengisi kartu rencana studi (KRS) di ruang TU Fakultas Ekonomi tadi,
melainkan duduk-duduk dulu di bangku taman sambil menunggu Ismi, teman sekampus
namun beda fakultas yang setiap hari berangkat dan pulang bersamaku. Tidak ada
siapa-siapa di taman.
Sudah sekitar 15
menit, namun Ismi tak juga muncul. Aku mulai gelisah. Tidak biasanya Ismi
seperti ini. Selama ini dia tak pernah membuatku menunggu. Malah aku yang
biasanya membuat Ismi menunggu. Hei, aku tak pernah membuatnya menunggu lebih
dari 10 menit! Tapi kali ini cewek yang satu kost denganku itu mau tak mau
membuatku akhirnya jengkel juga. Kemana sih anak itu?
20 menitpun berlalu
dan tidak ada tanda-tanda Ismi bakal muncul. Kucoba menghubungi nomor
ponselnya. Sia-sia. Hanya ada suara operator yang mengatakan bahwa nomor yang
kutuju sedang berada di luar jangkauan. Haduh, apalagi ini.. Sudah membuatku
menunggu lama, sekarang bahkan nomor ponselnyapun tak bisa kuhubungi. Dengan
sisa kesabaran yang kumiliki, aku berjalan dengan langkah cepat menuju ruang
tata usaha Fakultas Teknik tempat Ismi registrasi ulang. Ada beberapa mahasiswa
yang sedang mengisi KRS, dan seorang karyawan TU. Di antara mahasiswa yang
berada di ruang TU, aku tak melihat sosok Ismi di sana. Oh, Tuhan.. Aku sudah
tak lagi jengkel, tapi marah! Ismi benar-benar keterlaluan, dia pulang duluan
tanpa mau menungguku terlebih dahulu. Sudah begitu tak ada kabar pula darinya.
Awas saja kalau bertemu nanti di rumah kost.
Tanpa berkata apa-apa,
aku langsung meninggalkan ruang TU Fakultas Teknik, lalu bergegas menuju
gerbang kampus dan segera pulang. Ah, perjalanan menyusuri lorong kampus ini
terasa sangat panjang ketika aku sedang merasa jengkel dan marah seperti
sekarang ini. Ah, andai saja aku mempunyai cowok, mungkin saat ini, dia sudah
menghiburku dan aku sedang berjalan bersamanya menuju tempat yang membuatku
merasa lebih tenang.
“Keliatannya lagi bete
banget ya? Mau pulang juga kan? Mau bareng enggak?” suara seorang cowok tiba-tiba
menyapaku di parkiran motor dekat gerbang kampus. Waduh, nih cowok pede banget
main sapa aja. Untung orangnya ganteng.. Dan memang setelah aku menoleh ke
arahnya, dia memang tanpan. Senyumannya manis sekali ketika menyapaku tadi. Dia
sedang berada di atas sepeda motornya dengan helm yang sudah melekat di kepala.
Ah, dengan wajah yang tidak begitu jelas karena terhalang helm saja, dia sudah
terlihat tampan. Apalagi kalau helmnya dibuka.. Duh, kenapa pikiranku jadi
kemana-mana gini ya..
“Hallooo… Kok, malah
bengong sih? Gimana, mau bareng enggak nih?” tanyanya sekali lagi.
“Oh, eh.. Emang kamu
pulangnya ke arah mana?” jawabku balik bertanya.
“Aku pulang ke arah
Bojong lewat terminal Bekasi. Kalo kamu?” sahut cowok itu.
“Kalo aku pulang ke
Cikarang. Berarti kita searah. Ya udah aku ikut. Kamu beneran sendiri?”
“Iya aku sendirian
kok.. Ya udah ayo naik.” Aku langsung menuruti ucapannya. Hemm.. Setelah
berdekatan dengannya, tercium aroma harum dari tubuh cowok jangkung itu. Melati
aromaterapi. Cowok-cowok kok pilihan aromanya melati sih? Batinku. Sudahlah,
enggak penting banget. Tak lama kemudian, kami pun berlalu meninggalkan Kampus
Universitas Mercu Buana, Bekasi.
“By the way, namaku
Roy.” Ujarnya membuka percakapan di tengah perjalanan.
“Aku Sinta.”
“Kamu dari Fakultas
mana?” tanya Roy lagi.
“Ekonomi.”
“Loh, sama dong. Aku
juga ekonomi. Jurusan apa?”
“Manajemen.”
“Semester?”
“Sekarang sih 7.
Jangan bilang sama lagi ya? He he.” Candaku.
“7? Kamu yakin?”
ucapan Roy mulai bernada heran.
“Emang kenapa? Kamu
juga sama?” Kali ini aku yang mulai berpikiran aneh..
“Kamu pindahan ya?
Atau alih jurusan?” tanya Roy.
“Ah, enggak kok. Aku
udah 6 semester di situ.”
Aneh. Seharusnya aku
yang bertanya seperti itu. Kalau memang satu fakultas dan satu jurusan, mengapa
aku tak mengenalnya? Percakapan kami semakin gak nyambung setelah membahas
siapa saja teman kami masing-masing. Tak ada yang kukenal atau dia kenal
satupun. Yang lebih mengherankan lagi, ternyata kami berada di kelas yang sama
semester kemarin, 6E!
Ada apa ini? Mengapa
suasana hangat kami tiba-tiba berubah menjadi canggung?
Di kampus yang sama, fakultas yang sama, bahkan di ruang kelas
yang juga sama. Tapi mengapa aku tak mengenalnya? Sungguh misterius.
Entah mengapa setelah
perkenalan tadi, kami berhenti mengobrol. Tenggelam dalam pikiran
masing-masing. Aku mulai berpikir macam-macam. Roy benar-benar sosok yang
misterius. Teman-temannya tak banyak. Sepertinya dia seorang penyendiri atau
pemalu? Tapi melihat sikapnya tadi, sepertinya dia oarang yang cukup ramah dan
menyenangkan. Tak mungkin cowok seperti Roy tidak punya banyak teman. Cuma
hantu yang tidak punya teman. Hantu? Mengapa tiba-tiba saja aku berpikiran
seperti itu? Ah, ada-ada saja..
Roy mengantarkanku sampai gerbang rumah
kostku. Dia menolak ketika kuajak masuk. Sepertinya cowok itu terburu-buru atau
ada hal lain yang membuatnya terburu-buru? Ah, aku tak peduli. Memikirkan soal
yang tadi saja, aku masih bingung. Di depan gerbang, aku menatap sepeda motor
Roy yang perlahan-lahan menghilang dari pandanganku.
Aku langsung masuk
menuju kamar kostku yang letaknya di ujung loteng. Tiba-tiba terdengar
seseorang memanggilku,
“Sintaaaaa…..” Sebuah
suara yang terdendgar lirih mengalun dari sudut samping rumah kost yang cukup
besar ini. Aku menoleh ke sudut tersebut..
“Ismi, kamu di situ
ya?” tanyaku. Tak ada sahutan. Aku mendekatkan diri ke arah datangnya suara.
Tak ada siapa-siapa. Atau hanya halusinasiku saja ya? Oh, mengapa suasana jadi
terasa mencekam seperti ini? Hiy, aku jadi bergidik..
Tapi memang ada
pemandangan berbeda di sini. Mataku menatap ada hal yang tak biasa sepanjang perjalananku menuju
tangga. Sepi sekali hari ini. Bahkan ibu kost yang biasa berada di depan rumah
sambil menata tanaman hiasnya, kali ini tak kulihat. Kemana beliau ya? Ah, aku
baru sadar. Sepertinya dia sedang sedikit sensi karena aku belum membayar uang
sewa kost bulan ini. Aku sudah terlambat membayar 1 minggu, karena kiriman dari
orangtuaku di Semarang macet, terpakai ayah untuk membayar hutang. Tapi sudah
kukatakan pada ibu kost, kalau kiriman akan tiba minggu depan. Cuma sepertinya
ibu kost tak mau peduli. Ya sudahlah, apa boleh buat, sepanjang minggu ini aku
bakal dijuteki si janda tua itu.
Kulirik kamar Ismi
yang berada persis di sebelah kamarku. Pintunya terkunci. Ternyata dia tak ada
di rumah. Aneh sekali. Dia seperti menghilang ditelan bumi. Kucoba menghubungi
nomor ponselnya sekali lagi. Sama saja seperti tadi. Hanya suara operator. Lalu
kutekan nomor lain dari daftar kontak pomnselku. Nomor ayah di kampung.
Barangkali saja Ayah bisa segera menyelesaikan masalah keuanganku. Nihil.
Lagi-lagi tak ada nomor telepon yang bisa kuhubungi hari ini. Aneh. Sepertinya
ada yang salah. Tapi apa ya? Atau jangan-jangan ponselku yang bermasalah?
Mungkin saja. Ah, sebaiknya besok aku periksa saja ke konter ponsel.
*****
Aku
sedang berjalan di sekitar perumahan dekat rumah kostku. Pagi ini rencananya
aku hendak menyervis ponselku di sebuah mal di Cikarang. Suasana hari itu terlihat
cukup mendung. Langit kelabu, seperti hendak turun hujan. Cuaca tersa dingin
menusuk tulang. Bulan apa ya sekarang? Mengapa masih sudah musim hujan lagi?
Sepertinya baru minggu kemarin aku merasakan musim panas. Ah, rasanya waktu
berlalu begitu cepat tanpa terasa.
Kususuri
jalan kecil yang tidak ada orang-orang maupun kendaraan yang berlalu-lalang,
Aku biasanya melewati jalan ini jika sedang bersama Ismi. Tapi hari ini aku
sendiri. Sepi rasanya. Seperti berjalan di tengah kuburan. Oh, mengapa aku
selalu terbayang hal-hal mengerikan sejak bertemu dengan Roy ya? Jangan-jangan
cowok itu..
“Sintaaaaa…..”
lagi-lagi suara lirih itu..
“Sintaaaaa……”
kali ini terdengar sangat jelas sekali. Suara seorang pria. Samar-samar aku
melihat sekelebat bayangan hitam berjalan pelan ke arahku. Aku berteriak
ketakutan. Aku lalu hendak berlari membalik, ketika tiba-tiba..
“Sin,
ini aku. Kamu mau kemana?” tiba-tiba Roy sudah ada di belakangku. Menatapku
dengan heran.
“Loh,
Roy? Kenapa kamu ada di sini? Kamu sendiri sedang apa?” tanyaku tak kalah
heran.
“Aku
sedang main di rumah temanku di sekitar sini. Itu dia rumahnya.” Jelas Roy
sambil menunjuk sebuah rumah bercat hijau di seberang jalan.
“Rencananya
aku mau mampir ke kontrakan kamu. Eh, malah ketemu kamu di sini.” Lanjutnya.
(Bersambung)
PUTUS (3)
Setelah putus dari Aya beberapa bulan lalu, Arya masih belum mau
membuka hatinya untuk gadis lain. Gosip tentang 'hubungan yang tak
lazim'nya dengan Rio ternyata hanya sebuah skenario belaka yang sengaja Ia ciptakan agar Aya
tidak lagi mengejar-ngejar cintanya.
Sementara itu Rio yang depresi berat karena ditinggal Lisa menikah dengan Khanif, kondisi kejiwaannya kian memprihatinkan. Mantan preman di New Go-Kill itu kini semakin terang-terangan menjerumuskan dirinya menjadi seorang banci.
"Eike lagi galau nih, Cint. Eike pikir-pikir kita udah salah deh ngambil profesi kayak gini.." curhat Rio.
"Emang kenapa, Cint? Yey mau tobat ya? Aduh, duluan aja deh. Eike belom siap pake jilbab soalnya." timpal Asep.
"Bukan gitu.. Abis sekarang susah banget sih dapet pelanggan. Apa Eike kurang cantik ya?" sahut Rio sedih.
"Jangan minder gitu ah, Cint. Yey cantik kok, cuma besok-besok kalo lagi mangkal, kumisnya dicukur dulu ya."
"Udah ah jangan sedih gitu. Nih Eike punya sesuatu buat ngehibur Yey.." lanjut Asep.
"Apaan tuh, Cint?"
"Yey liat gak cowok yang lagi duduk di depan warung itu? Yang pake kaos biru. Cucok ya?"
"Idiih.. Bukan cucok lagi kalee.. Itu mah lekong banget. Selera Eike!"
Tak lama kemudian kedua 'makhluk jadi-jadian' itu berjalan mendekati pria yang dimaksud.
"Sendirian aja, Bang. Boleh gak Viona ikut nemenin?" tanya Rio pede.
"Maksud Rio, eh Viona, ditemenin sama Sefti juga." sambung Asep.
"Boleh-boleh aja sih. Tapi kalo entar pacar saya ngeliat, dia bisa ngamuk lho." sahut pria yang bernama Fherry itu.
"Oh, jadi Abang udah punya pacar ya? Aduh, merana lagi deh hati Eike. Hiks." ujar Rio sambil menghapus ingusnya.
"Terus, sekarang cewekya lagi dimana, Bang? Kok gak bareng sama Abang?" tanya Asep.
"Lagi di toilet. Tuh dia baru keluar. Saya tinggal dulu ya. Bye." jawab Fherry setengah berlari menuju seorang pria berjaket hitam yang baru saja keluar dari toilet.
Sementara itu Rio yang depresi berat karena ditinggal Lisa menikah dengan Khanif, kondisi kejiwaannya kian memprihatinkan. Mantan preman di New Go-Kill itu kini semakin terang-terangan menjerumuskan dirinya menjadi seorang banci.
"Eike lagi galau nih, Cint. Eike pikir-pikir kita udah salah deh ngambil profesi kayak gini.." curhat Rio.
"Emang kenapa, Cint? Yey mau tobat ya? Aduh, duluan aja deh. Eike belom siap pake jilbab soalnya." timpal Asep.
"Bukan gitu.. Abis sekarang susah banget sih dapet pelanggan. Apa Eike kurang cantik ya?" sahut Rio sedih.
"Jangan minder gitu ah, Cint. Yey cantik kok, cuma besok-besok kalo lagi mangkal, kumisnya dicukur dulu ya."
"Udah ah jangan sedih gitu. Nih Eike punya sesuatu buat ngehibur Yey.." lanjut Asep.
"Apaan tuh, Cint?"
"Yey liat gak cowok yang lagi duduk di depan warung itu? Yang pake kaos biru. Cucok ya?"
"Idiih.. Bukan cucok lagi kalee.. Itu mah lekong banget. Selera Eike!"
Tak lama kemudian kedua 'makhluk jadi-jadian' itu berjalan mendekati pria yang dimaksud.
"Sendirian aja, Bang. Boleh gak Viona ikut nemenin?" tanya Rio pede.
"Maksud Rio, eh Viona, ditemenin sama Sefti juga." sambung Asep.
"Boleh-boleh aja sih. Tapi kalo entar pacar saya ngeliat, dia bisa ngamuk lho." sahut pria yang bernama Fherry itu.
"Oh, jadi Abang udah punya pacar ya? Aduh, merana lagi deh hati Eike. Hiks." ujar Rio sambil menghapus ingusnya.
"Terus, sekarang cewekya lagi dimana, Bang? Kok gak bareng sama Abang?" tanya Asep.
"Lagi di toilet. Tuh dia baru keluar. Saya tinggal dulu ya. Bye." jawab Fherry setengah berlari menuju seorang pria berjaket hitam yang baru saja keluar dari toilet.
Selasa, 16 Juli 2013
Prompt #21: "AKU MENGINGINKAN HATIMU, MAS."
Setahun sudah berlalu sejak kematian kedua orangtuanya karena kecelakaan mobil. Lastri yang masih berduka karena kehilangan orang-orang yang dicintainya itu, harus dihadapkan pada kenyataan pahit lainnya. Linda, kakak kandungnya sendiri ternyata akhirnya menikah dengan Anwar, pria yang sudah lama Ia dambakan menjadi kekasihnya. Dan yang lebih menyayat hatinya lagi, Ia harus ikut tinggal bersama di rumah mereka. Linda tidak tega membiarkan adik satu-satunya itu harus tinggal sendirian.
"Kurasa kau sudah tahu kalau sejak awal aku sangat mencintai Linda. Tapi aku sudah menganggapmu sebagai adikku sendiri. Dan sebentar lagi hal itu akan benar-benar menjadi nyata, kamu akan resmi menjadi adikku!" ucap Anwar ketika itu. Dengan penuh kegembiraan dan tanpa pernah tahu betapa hancurnya hati Lastri, Anwar memberitahukan bahwa Ia akan segera menikah dengan Linda.
*****
Dengan mengendap-endap, Lastri menuju kamar tidur Anwar dan Linda. Setelah dibukanya pintu kamar, terlihatlah olehnya pria yang telah membuatnya tergila-gila itu masih terlelap sendirian dengan tubuh yang hanya berbalut celana pendek. Lama dipandanginya Anwar. Hatinya mulai ragu ketika melihat apa yang sedang ada di hadapannya saat itu. Jantungnya berdegup kencang sekali. Berulangkali Ia pikirkan kembali niatnya. Haruskah Ia melakukannya sekarang?
Anwar tiba-tiba terbangun di saat Lastri masih bergelut dengan kebimbangannya. Ia merasa kaget, bukan Linda yang ada di sampingnya, melainkan adik iparnya.
"Lastri, apa yang kamu lakukan di sini? Kamu tidak seharusnya ada di sini! Cepat keluar, sebelum Linda nanti datang dan akan berpikiran macam-macam." pekik Anwar panik, sambil berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut.
"Tidak usah panik begitu, Mas. Linda tak akan tahu apa-apa, sama seperti ketidaktahuan dia soal perasaanku terhadapmu." sahut Lastri tenang.
"Hei, mengapa tiba-tiba kau bicara seperti itu? Sudahlah, jangan mengungkit masa lalu. Kita sudah jadi satu keluarga sekarang. Apa hal itu masih belum cukup bagimu? Cobalah kau bayangkan bagaimana perasaan Linda nanti kalau tahu kamu seperti ini." Anwar coba menasehati Lastri. Dia benar-benar tak ingin hal ini kelak akan mengganggu keharmonisan rumah tangganya.
"Hei, mengapa tiba-tiba kau bicara seperti itu? Sudahlah, jangan mengungkit masa lalu. Kita sudah jadi satu keluarga sekarang. Apa hal itu masih belum cukup bagimu? Cobalah kau bayangkan bagaimana perasaan Linda nanti kalau tahu kamu seperti ini." Anwar coba menasehati Lastri. Dia benar-benar tak ingin hal ini kelak akan mengganggu keharmonisan rumah tangganya.
"Kau tahu kan betapa aku sangat menginginkan hatimu, Mas?" Lastri berkata lagi.
"Apa yang kamu bicarakan? Harus berapa kali kukatakan, aku tak mencintaimu! Dan sekarang aku adalah kakak iparmu, Lastri. Ah, sudahlah. Sebaiknya biar aku saja yang keluar. Linda harus tahu hal ini." Anwar mulai kesal. Ia lalu mengambil kaus yang menggantung di dinding kamar, kemudian memakainya.
"Percuma, Mas. Sampai matipun dia tak akan pernah tahu..."
"Apa maksudmu? Lastri, apa yang telah kau perbuat?" Anwar menoleh ke arah Lastri. Ia mulai khawatir.
"Linda sudah mati! Orang yang telah merebutmu dariku itu memang pantas mendapatkannya. Ha ha ha!"
"Tapi, tapi.. Dia kakak kandungmu sendiri! Kau, kau sudah gila, Lastri.." Ia berharap Lastri hanya sedang depresi dan tidak benar-benar membunuh Linda. Bergegas Ia menuju pintu kamar, namun langkahnya terhenti...
"Aaaaaaaakkhhhhhhhh................!!!!!! Las...tri... Kaaaa...uuu.." sebuah pisau dapur menancap di punggung yang menembus ke jantungnya. Beberapa saat kemudian, Anwar jatuh tersungkur bersimbah darah.
"Kamu memang tak akan pernah mencintaiku, Mas. Makanya kamu juga harus mati. Sekarang kamu paham kan, apa maksudku meminta hatimu? Karena aku benar-benar menginginkannya!" ujarnya sambil membalikkan tubuh Anwar yang sudah tak bernyawa. Membedah dada pria itu, lalu mencongkel hatinya.
Senin, 15 Juli 2013
SYUTING (1)
Juliet memandang Romeo dengan tatapan tajam dan penuh dengan kebencian. Ia bahkan tak menggubris kekasihnya itu yang berusaha melepaskan ujung kemejanya dari genggaman tangan Juliet.
"Kamu tuh apa-apaan sih, July! Aku kebelet tau! Ngobrolnya kan bisa nanti nunggu aku keluar dari toilet dulu..?" protes Romeo dengan sengit.
"Kamu yang apa-apaan Romi! Tega ya kamu selingkuh di belakangku! Emang apa salahku? Jawab, Romi!" balas Juliet tak kalah sengitnya. Bibirnya terlihat gemetar menahan emosi. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Aku gak..." Romeo berusaha menjelaskan.
"Aku benar-benar gak nyangka kamu bisa berbuat seperti itu sama aku,
Romi! Selama ini aku selalu berusaha mempercayaimu, tapi kamu malah
menyalahgunakan kepercayaan itu! Jawab, Rom! Jangan diam aja.. Hu.. Hu..
Hu.." tangis Juliet mulai pecah di antara amarahnya.
"Tapi aku..." lagi-lagi ucapan Romeo selalu dipotong Juliet.
"Udahlah kamu gak perlu ngejelasin apa-apa lagi. Semuanya udah jelas! Aku..."
"Aaaaarghh!!" tiba-tiba Romeo memotong ucapan Juliet dengan berteriak.
"Gimana gue mau ngomong kalo Lu nyerocos mulu kayak petasan cabe rawit,
Nyet! Dasar tuyul gondrong, genderuwo botak, kuntilanak kepang! Lu
ambil dah tuh scene buat Lu sendiri, kagak usah ngajak-ngajak gue lagi
buat dialog!" Romeo membanting naskah skenario dari tangannya kemudian
pergi meninggalkan Juliet.
"Kat, kat, kaaat!!! Rojaliii...! Mau
kemane Lu?! Sini balik! Latihannya belum selesai!" sang sutradara
berusaha meminta Romeo kembali latihan.
"Mau ngelenong di Hongkong! Urus dulu tuh Serbet Warteg, baru aye balik! BETE Aye!" sahut Romeo dari kejauhan.
"Gimana tadi Om akting Aye? Bagus kan? Siapa dulu dong, Julehaaa.." Juliet berkata pada sang sutradara.
"Bagus pantat Lu pitak! Liat noh si Rojali jadi ngambek gara-gara Lu! Gimana sih Lu, baca yang bener dong naskahnya!"
"Yee, si Om.. Aye kan sekedar berimprovasi gitu Om.."
"Lu pikir lagi audisi nyanyi, Kadal Kurap! Udah apalin lagi sono naskahnya yang bener!"
CURHAT PSIKIATER
"Saya
mempunyai masalah, Dok. Setiap menjalin hubungan dengan wanita, selalu
saja berakhir kecewa. Apa yang salah dengan diri saya ya, Dok?" tanya
seorang pria pada psikiaternya.
"Ah, itu masih kondisi yang normal. Mungkin belum jodoh." jawab sang psikiater.
"Tapi, Dok.. Saya sudah mengalaminya sebanyak lima kali!" lanjut si pria.
"Itu belum seberapa. Saya sendiri sudah sembilan kali pacaran, bahkan
tiga kali perkawinan saya semuanya gagal.." terang sang psikiater.
"Tapi, Dok.. Hal itu menjadikan saya trauma dan tidak berani untuk memulai hubungan lagi.." ujar si pria lagi.
"Itu juga belum seberapa. Saya juga mengalami trauma, bahkan tidak lagi mempunyai ketertarikan terhadap lawan jenis."
"Maksud Dokter?"
"Berarti sekarang Anda single kan? Saya juga demikian."
"Lalu?"
"Anda tentu paham maksud saya.."
"Saya permisi dulu, Dok. Terima kasih atas waktunya. Selamat malam."
Minggu, 14 Juli 2013
Prompt #20 : PENGAKUAN OM JOKO
Wajahnya
terlihat bingung. Tanpa sadar jemari tangannya sibuk memainkan sedotan dari
gelas minuman yang ada di hadapannya. Setelah
jeda yang begitu lama, lelaki itu menghabiskan isi gelasnya dengan sekali
tegukan. Lalu dengan segenap
keberaniannya, Ia memaksakan diri untuk berterus terang pada gadis yang sedang berada
di sampingnya itu.
"Putri, ada sesuatu yang ingin Om bicarakan padamu. Sesuatu
yang sangat penting.." jelasnya.
"Aku siap mendengarkan, Om." sahut Putri, si gadis
tersebut. Ia bersama Joko-lelaki yang dipanggil 'Om' itu-sedang beristirahat
sebentar di sebuah kedai dalam perjalanannya menuju suatu tempat di daerah
perkotaan. Tidak biasanya Joko yang sudah seperti pamannya sendiri itu
mengajaknya bepergian jauh seperti ini.
Joko semakin gelisah. Berkali-kali Ia menghirup napas
panjang. Dikuatkan hatinya sekali lagi untuk memberanikan diri mengatakan
sesuatu yang mungkin akan membuat Putri terguncang ketika mendengarnya, sama seperti
yang Ia rasakan ketika mendengar perintah Hera padanya untuk membunuh Putri
karena perempuan itu merasa iri dengan kecantikan anak tirinya itu.
Sanggupkah Joko mengatakan bahwa sebenarnya Hera sangat
menginginkan kematiannya? Waktu Joko semakin sempit. Kaki tangan Hera itu sudah
terlalu banyak mengulur waktu dan hal itu tentu akan membuat Hera semakin
murka.
"Putri, sadarkah kalau kau begitu cantik? Dan hal itu
bisa menjadi bumerang bagimu, karena ada seseorang yang merasa sangat iri
padamu." lanjut Joko.
"Mama, maksud Om?”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Aku tahu semuanya. Dan aku juga tahu bahwa Om diperintah
Mama untuk membunuhku.”
“Lalu? Bagaimana sikapmu?” Joko merasa heran karena gadis itu
sepertinya tak peduli dengan hal itu.
“Karena aku lebih pintar. Om akan mati terlebih dahulu
sebelum bisa membunuhku. Setelah itu baru akan kuurus perempuan itu!”
“Putri, apa..apa maksudmu, Nak?”
“Minuman yang Om minum barusan. Aku sudah memasukkan racun ke
dalam gelasnya.”
(Terinspirasi dari Dongeng
Putri Salju)
Senin, 08 Juli 2013
BATAL MUDIK, KETEMU JODOH
Ramadhan tahun ini bagi Raka tak akan seperti tahun-tahun sebelumnya. Tak ada lagi yang akan menyiapkannya makan sahur, menemaninya berbuka puasa ataupun shalat tarawih bersama. Padahal dia sudah membayangkan akan melewati lagi bulan suci itu bersama Nia, mantan kekasihnya. Bahkan rencananya gadis itu hendak Ia perkenalkan sebagai calon istrinya kepada orangtuanya di Kuningan saat lebaran nanti.
“Lo jadi mau munggahan* di Kuningan, Ka? Apa gak tanggung nunggu sampe libur lebaran aja ke sananya?” tanya Firman membuyarkan lamunan Raka. Firman adalah tetangga kontrakan sekaligus teman kerjanya.
“Ya jadi lah.. Hari Jumat besok gue berangkat. Barusan gue udah ngajuin form cuti gue ke HRD. Udah, Lo gak usah sedih gitu ah. Gue cuti cuma 3 hari kok.. Rabu depan gue udah balik ke sini lagi.” sahut Raka.
“Ah, sialan Lo.. Siapa juga yang sedih? Justru gue malah senang gak perlu bangunin Lo buat sahur. Secara bangunin Lo tidur itu susahnya kayak mau nyembelih banteng! Wa ha ha ha..” canda Firman.
“Lebayyyyy!” balas Raka sambil berlalu meninggalkan Firman.yang masih sibuk menghabiskan makan siangnya di kantin pabrik.
"Gue yang sedih, Man. Sebenarnya bukan apa-apa. Gue lagi sumpek aja di sini. Tiap hari kebayang Nia terus. Rasanya kayak mimpi putus sama dia. Padahal baru kemarin gue nonton bareng dia. Sekarang mungkin dia lagi asyik nonton sama si Brengsek itu!" batin Raka.
*****
"Biasanya penuh terus lho, Neng. Abis lebaran baru ada lagi yang kosong. Soalnya kadang ada yang mudik, terus pulangnya gak balik lagi ke sini." terang Haji Salim, sang pemilik kontrakan.
"Oh gitu ya, Pak. Beruntung dong saya.." sahut Irma, yang baru saja tiba dari kampungnya di Cianjur.
"Kamunya juga kok pindahannya nanggung gini. Kenapa gak abis lebaran aja?" tanya Haji Salim penasaran.
"Oh, ehm.. Ituu.. Ya, kebetulan aja dapat panggilan kerjanya sekarang, Pak.." jawab Irma setengah gugup.
"Maaf nih, Pak.. Saya tinggal beres-beres dulu ya.." ujarnya lagi, sambil membongkar isi koper dan tas punggung yang dibawanya.
"Eh, iya, iya Neng. Silahkan. Aduh, maaf ya malah diajak ngobrol gini.. He he. Ya udah, nanti kalo ada apa-apa, bilang aja sama Bapak ya. Gak usah sungkan." pesan Haji Salim.
"Sebenarnya saya cuma cari tempat pelarian aja di sini, Pak. Daripada stres mikirin pertunangan yang gagal, lebih baik lanjutkan hidup dengan mencari aktivitas baru, di tempat yang baru. Siapa tahu hidup saya bisa lebih baik di sini, termasuk jodoh saya.." batin Irma.
*****
"Gagal mudik, Cuy. Pengajuan cuti gue ditolak. Perusahaan lagi sibuk-sibuknya nyiapin stok sebelum lebaran." keluh Raka setelah pulang dari pabrik.
"Gue tahu sebenarnya niat Lo mudik cuma buat pelarian aja, bukan buat silahturahmi. Iya kan? Makanya gak dikasih jalan deh. He he. Move on*, dong Bro. Move on*! Kayak di dunia cuma ada Nia aja.."
"Sok tau Lo! Udah ah, jangan bahas soal itu lagi. Ngomong-ngomong, nih kontrakan sebelah kayaknya udah ada yang ngisi ya? Kok terang dan rapi banget?" Raka berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Kata Haji Salim sih gitu. Tadi siang dia pindahannya."
"Hemm..."
“Lo jadi mau munggahan* di Kuningan, Ka? Apa gak tanggung nunggu sampe libur lebaran aja ke sananya?” tanya Firman membuyarkan lamunan Raka. Firman adalah tetangga kontrakan sekaligus teman kerjanya.
“Ya jadi lah.. Hari Jumat besok gue berangkat. Barusan gue udah ngajuin form cuti gue ke HRD. Udah, Lo gak usah sedih gitu ah. Gue cuti cuma 3 hari kok.. Rabu depan gue udah balik ke sini lagi.” sahut Raka.
“Ah, sialan Lo.. Siapa juga yang sedih? Justru gue malah senang gak perlu bangunin Lo buat sahur. Secara bangunin Lo tidur itu susahnya kayak mau nyembelih banteng! Wa ha ha ha..” canda Firman.
“Lebayyyyy!” balas Raka sambil berlalu meninggalkan Firman.yang masih sibuk menghabiskan makan siangnya di kantin pabrik.
"Gue yang sedih, Man. Sebenarnya bukan apa-apa. Gue lagi sumpek aja di sini. Tiap hari kebayang Nia terus. Rasanya kayak mimpi putus sama dia. Padahal baru kemarin gue nonton bareng dia. Sekarang mungkin dia lagi asyik nonton sama si Brengsek itu!" batin Raka.
*****
"Biasanya penuh terus lho, Neng. Abis lebaran baru ada lagi yang kosong. Soalnya kadang ada yang mudik, terus pulangnya gak balik lagi ke sini." terang Haji Salim, sang pemilik kontrakan.
"Oh gitu ya, Pak. Beruntung dong saya.." sahut Irma, yang baru saja tiba dari kampungnya di Cianjur.
"Kamunya juga kok pindahannya nanggung gini. Kenapa gak abis lebaran aja?" tanya Haji Salim penasaran.
"Oh, ehm.. Ituu.. Ya, kebetulan aja dapat panggilan kerjanya sekarang, Pak.." jawab Irma setengah gugup.
"Maaf nih, Pak.. Saya tinggal beres-beres dulu ya.." ujarnya lagi, sambil membongkar isi koper dan tas punggung yang dibawanya.
"Eh, iya, iya Neng. Silahkan. Aduh, maaf ya malah diajak ngobrol gini.. He he. Ya udah, nanti kalo ada apa-apa, bilang aja sama Bapak ya. Gak usah sungkan." pesan Haji Salim.
"Sebenarnya saya cuma cari tempat pelarian aja di sini, Pak. Daripada stres mikirin pertunangan yang gagal, lebih baik lanjutkan hidup dengan mencari aktivitas baru, di tempat yang baru. Siapa tahu hidup saya bisa lebih baik di sini, termasuk jodoh saya.." batin Irma.
*****
"Gagal mudik, Cuy. Pengajuan cuti gue ditolak. Perusahaan lagi sibuk-sibuknya nyiapin stok sebelum lebaran." keluh Raka setelah pulang dari pabrik.
"Gue tahu sebenarnya niat Lo mudik cuma buat pelarian aja, bukan buat silahturahmi. Iya kan? Makanya gak dikasih jalan deh. He he. Move on*, dong Bro. Move on*! Kayak di dunia cuma ada Nia aja.."
"Sok tau Lo! Udah ah, jangan bahas soal itu lagi. Ngomong-ngomong, nih kontrakan sebelah kayaknya udah ada yang ngisi ya? Kok terang dan rapi banget?" Raka berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Kata Haji Salim sih gitu. Tadi siang dia pindahannya."
"Hemm..."
480 kata
“Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway Si Sulung”
*Munggahan : Istilah orang sunda yaitu proses penyambutan diri menjelang bulan Ramadhan secara ruhaniah iman dan taqwa kita meningkat. Biasanya dilakukan dengan berziarah ke makam keluarga dan kerabat, atau berkumpul bersama keluarga.
*Move on : Istilah anak muda yang artinya bangkit dari kegagalan (biasanya buat yang putus cinta)
Kamis, 04 Juli 2013
Prompt #19 : CITA CITA ADIT
sumber gambar |
"Bunda..."Adit yang masih memakai seragam sekolah lengkap dengan tas yang masih melekat di punggungnya itu memanggilku.
'Iya, Sayang. Ada apa?" sahutku yang sedang menurunkan bungkusan-bungkusan plastik berisi sayur-mayur daganganku yang tidak habis terjual itu dari sepeda.
"Adit boleh kan jadi tentara?" tanyanya kemudian. Aku langsung menoleh, lalu berjongkok di hadapan Adit dan mensejajarkan pandanganku dengan wajah mungilnya.
"Hemmm.. Jadi jagoan Bunda ini punya cita-cita jadi tentara rupanya. Hebat, anak Bunda." jawabku sambil tersenyum, lalu membelai lembut rambut ikalnya.
"Tentu boleh dong, Sayang.. Adit mau jadi apapun pasti bisa. Kan Adit anak yang pintar dan pemberani. Tapi syaratnya, Adit harus rajin belajar dan selalu dengarin nasehat Bunda, ya Sayang?" kataku lagi. Adit hanya mengangguk. Entahlah aku berkata demikian hanya sekedar untuk membesarkan hatinya saja atau berharap suatu saat nanti ada keajaiban yang bisa mewujudkan cita-cita besarnya tersebut. Jujur saja sebenarnya aku masih ragu dengan masa depan anak semata wayangku itu.
"Tapi tadi teman-teman sekolah mengejek Adit, Bunda. Mereka bilang Adit gak akan bisa jadi tentara atau jadi apapun yang lainnya." Adit berkata lagi, namun kali ini dengan nada yang sedikit kesal. Aku pun mulai tersulut. Apa yang kudengar dari Adit barusan serasa menohok jantungku. Sakitnya tidak jauh berbeda dengan apa yang kurasakan tujuh tahun silam, ketika Adit baru lahir. Ayahnya tidak mau mengakui Adit sebagai darah dagingnya sendiri dan memilih meninggalkan kami dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Depresi? Ya, tentu saja. Namun keberadaan Adit di sisiku telah menjadi nafas dalam hidupku. Senyuman dan gelak tawanya adalah rangkaian pondasi kokoh yang telah membangun benteng ketangguhanku. Aku bangkit dari segala keterpurukanku dan melanjutkan hidupku walau kadang masih berpikir bahwa dunia tidak pernah adil terhadap diriku.
"Lalu, apalagi yang mereka katakan padamu? Apa mereka mengganggumu, Nak?" tanyaku dengan khawatir. Kekhawatiran yang sama seperti saat Adit kudaftarkan masuk sekolah beberapa minggu yang lalu.
"Enggak kok, Bun. Adit langsung mengadukan mereka ke Bu Guru, lalu Bu Guru meminta mereka untuk meminta maaf sama Adit." Ah, malaikat kecilku.. Ternyata dia jauh lebih tangguh dari apa yang kubayangkan, bahkan melebihi ibunya sendiri.
Kalau aku terlalu protektif terhadap Adit, kurasa itu hal yang sangat wajar. Sebagai ibu sekaligus ayahnya, aku tak ingin ada siapapun yang menyakiti atau mengganggu satu-satunya harta yang paling berharga dalam hidupku itu. Cukup aku saja yang merasakan getirnya segala cemoohan, hinaan, dan perlakuan buruk lainnya dari orang-orang di sekitar yang memandang kami dengan sebelah mata.
Adit masih terlalu belia untuk mengalami cobaan hidup seberat itu. Aku ingin dia menjalani kehidupannya dengan normal seperti anak-anak lain seusianya. Dan aku akan sekuat tenaga melakukan apa saja yang bisa kuberikan agar Adit mampu mewujudkan harapan dan cita-citanya.
"Loh, Bunda kenapa menangis? Adit udah bikin Bunda sedih ya? Maafin Adit ya, Bunda.." suara Adit tiba-tiba menghentikan lamunanku. Tak terasa airmata perlahan meleleh dari kedua mataku. Buru-buru aku menghapusnya dengan tanganku dan berharap Adit tidak ikut-ikutan bersedih.
"Bunda menangis bukan karena lagi sedih kok, Nak. Justru Bunda bahagia karena memiliki anak yang baik dan menyenangkan seperti kamu. Kamu adalah penyemangat Bunda dan selalu mengisi hidup Bunda dengan berjuta keindahan. Terima kasih ya, Sayang." sahutku sambil mengecup kening dan kedua pipinya, lalu membantunya melepaskan tas dari punggungnya.
"Oya, Bun. Tadi kan di sekolah ada pelajaran menggambar. Adit dapat nilai paling tinggi loh di kelas. Kata Bu Guru, Adit berbakat jadi pelukis. Nih, Bunda lihat deh hasil gambar Adit." terang Adit bersemangat. Tak lama kemudian, diserahkannya sebuah buku gambar kecil dari dalam tasnya.
"Wah, indah sekali! Ini Adit sendiri yang buat?" ujarku takjub. Benar-benar mengagumkan. Gambar sebagus ini berasal dari goresan tangan seorang anak berusia tujuh tahun? Mungkin tak akan banyak yang percaya. Terlebih lagi jika orang-orang tahu bahwa pembuatnya menggunakan tangan yang tak ada jarinya.
#Tantangan Mingguan Monday Flash Fiction#
#Tantangan Mingguan Monday Flash Fiction#
Minggu, 30 Juni 2013
NON FIKSI : GARA-GARA MENGHINDARI RAZIA
"Gue pinjem motor Lo dulu ya, Rob. Plis..tolongin gue. Kalo
gak, gue bener-bener gak diijinin Pak Hadi ikut mid test mata kuliahnya
dia." rengekku pada Robby, teman kampusku. Ini hari terakhir aku mengumpulkan
makalah tugas Pengantar Akuntansi karena besok kami sudah ujian tengah semester.
"Lo jadi, mau datengin rumahnya Pak Hadi?" tanya Robby padaku dengan ragu.
"Jadi. Gue udah janji mau ngumpulin hari ini."
jawabku mantap. Aku terpaksa mengantarkan tugasku seperti ini karena tak ingin
syarat untuk mengikuti ujian dosen yang terkenal kaku ini ada yang tidak
kupenuhi. Sementara Robby tak bisa mengantarkanku karena ada rapat DKM.
"Duh, gimana ya, Man. Lagi rawan razia di Kemayoran sekarang. Lo kan gak punya SIM?" Robby mengingatkanku.
"Udah Lo tenang aja. Kalopun kena, paling mesti ngasih 20 ribu, kayak biasanya! Gue bawa duit nih." kataku mencoba menenangkan Robby. Sekitar tiga belas tahun yang lalu, 20 ribu untuk 'uang damai' buat polantas masih standar. Kalau sekarang entah sudah berapa. Mudah-mudahan saja hal-hal memalukan seperti itu sudah tak ada lagi.
Dengan berat hati dan berkat rayuan mautku, akhirnya Robby luluh juga merelakan motornya untuk kupakai. Masuk akal juga sih kalau Robby bersikap seperti itu, karena aku sudah pernah berurusan dengan polisi di jalan raya. Lebih parah malah, karena waktu itu aku lupa membawa STNKnya.
Ternyata kekhawatiran Robby terbukti. Di jalan Cempaka Putih daerah Kemayoran, Jakarta Pusat terlihat beberapa polisi lalu lintas yang sedang berpatroli. Ada yang sedang menginterogasi pengendara sepeda motor karena tidak menggunakan dua helm, ada juga yang posisinya agak ke tengah untuk menghentikan pengendara lain yang juga melanggar peraturan lalu lintas.
Tapi tunggu dulu, sepertinya polisi tidak hanya menghentikan pengendara yang melanggar saja, tapi semuanya! Aku mulai cemas. Mudah-mudahan saja ada celah untuk aku bisa menghindar dari situasi 'tidak strategis' ini.
Sebuah mobil box pengangkut minuman di depan tiba-tiba saja menjadi titik perhatianku. Bergegas kupacu motorku (ups, motor Robby maksudnya) lebih kencang untuk mensejajarkan diri dengan mobil itu. Berhasil! Akupun luput dari perhatian polisi karena terhalang mobil itu di sebelah kiriku. Hanya saja karena terlalu gugup melihat polisi aku tak mampu mengendalikan motor dengan baik. Tak kuperhatikan ada lubang di depanku. Alhasil aku terjatuh dari motor setelah menabrak lubang itu. Entah karena merasa malu atau karena khawatir ada polisi yang melihatku, aku langsung bangkit dengan tergesa-gesa, menaiki kembali motorku, lalu melanjutkan perjalanan seolah tak terjadi apa-apa. Tak kupedulikan beberapa goresan perih di kaki, tangan dan daguku hasil tumbukanku dengan aspal tadi.
Kesialanku ternyata tak berhenti sampai situ saja. Ketika aku mampir ke warnet sebentar untuk mencetak tugasku, mendadak aku terkulai lemas. Tugas yang harus
kuberikan dalam bentuk disket itu sudah tidak ada lagi padaku! Sepertinya aku telah menjatuhkannya
ketika insiden di jalan raya terjadi tadi. Benar-benar sial, apalagi hanya disket itu satu-satunya alat penyimpananku. Mau tak mau aku harus memulai dari awal lagi untuk menyusun tugasku.
FTS : 462 kata
Tulisan ini diikutsertakan dalam "Giveaway SIM yang diadakan oleh Kinzihana"
Langganan:
Postingan (Atom)