Minggu, 30 Juni 2013

NON FIKSI : GARA-GARA MENGHINDARI RAZIA



"Gue pinjem motor Lo dulu ya, Rob. Plis..tolongin gue. Kalo gak, gue bener-bener gak diijinin Pak Hadi ikut mid test mata kuliahnya dia." rengekku pada Robby, teman kampusku. Ini hari terakhir aku mengumpulkan makalah tugas Pengantar Akuntansi karena besok kami sudah ujian tengah semester.

"Lo jadi, mau datengin rumahnya Pak Hadi?" tanya Robby padaku dengan ragu.

"Jadi. Gue udah janji mau ngumpulin hari ini." jawabku mantap. Aku terpaksa mengantarkan tugasku seperti ini karena tak ingin syarat untuk mengikuti ujian dosen yang terkenal kaku ini ada yang tidak kupenuhi. Sementara Robby tak bisa mengantarkanku karena ada rapat DKM.

"Duh, gimana ya, Man. Lagi rawan razia di Kemayoran sekarang. Lo kan gak punya SIM?" Robby mengingatkanku.

"Udah  Lo tenang aja. Kalopun kena, paling mesti ngasih 20 ribu, kayak biasanya! Gue bawa duit nih." kataku mencoba menenangkan Robby. Sekitar tiga belas tahun yang lalu, 20 ribu untuk 'uang damai' buat polantas masih standar. Kalau sekarang entah sudah berapa. Mudah-mudahan saja hal-hal memalukan seperti itu sudah tak ada lagi.

Dengan berat hati dan berkat rayuan mautku, akhirnya Robby luluh juga merelakan motornya untuk kupakai. Masuk akal juga sih kalau Robby bersikap seperti itu, karena aku sudah pernah berurusan dengan polisi di jalan raya. Lebih parah malah, karena waktu itu aku lupa membawa STNKnya.

Ternyata kekhawatiran Robby terbukti. Di jalan Cempaka Putih daerah Kemayoran, Jakarta Pusat terlihat beberapa polisi lalu lintas yang sedang berpatroli. Ada yang sedang menginterogasi pengendara sepeda motor karena tidak menggunakan dua helm, ada juga yang posisinya agak ke tengah untuk menghentikan pengendara lain yang juga melanggar peraturan lalu lintas.

Tapi tunggu dulu, sepertinya polisi tidak hanya menghentikan pengendara yang melanggar saja, tapi semuanya! Aku mulai cemas. Mudah-mudahan saja ada celah untuk aku bisa menghindar dari situasi 'tidak strategis' ini.   
 
Sebuah mobil box pengangkut minuman di depan tiba-tiba saja menjadi titik perhatianku. Bergegas kupacu motorku (ups, motor Robby maksudnya) lebih kencang untuk mensejajarkan diri dengan mobil itu. Berhasil! Akupun luput dari perhatian polisi karena terhalang mobil itu di sebelah kiriku. Hanya saja karena terlalu gugup melihat polisi aku tak mampu mengendalikan motor dengan baik. Tak kuperhatikan ada lubang di depanku. Alhasil aku terjatuh dari motor setelah menabrak lubang itu. Entah karena merasa malu atau karena khawatir ada polisi yang melihatku, aku langsung bangkit dengan tergesa-gesa, menaiki kembali motorku, lalu melanjutkan perjalanan seolah tak terjadi apa-apa. Tak kupedulikan beberapa goresan perih di kaki, tangan dan daguku hasil tumbukanku dengan aspal tadi. 

Kesialanku ternyata tak berhenti sampai situ saja. Ketika aku mampir ke warnet sebentar untuk mencetak tugasku, mendadak aku terkulai lemas. Tugas yang harus kuberikan dalam bentuk disket itu sudah tidak ada lagi padaku! Sepertinya aku telah menjatuhkannya ketika insiden di jalan raya terjadi tadi. Benar-benar sial, apalagi hanya disket itu satu-satunya alat penyimpananku. Mau tak mau aku harus memulai dari awal lagi untuk menyusun tugasku.


FTS : 462 kata

Tulisan ini diikutsertakan dalam "Giveaway SIM yang diadakan oleh Kinzihana"


Sabtu, 29 Juni 2013

DEMI TOMMY

Jika ada pasangan kekasih yang harus tertatih mempertahankan kebahagiaan cintanya karena terhalang oleh egoisme kedua orangtua, maka kami adalah salah satunya. Aku dan Tommy telah menjalin hubungan yang cukup lama, lima tahun! Namun terancam kandas hanya dalam hitungan Beberapa menit saja karena kedua orangtua kami yang dengan tegas menolak memberikan restu mereka ketika kami menyampaikan maksud untuk menikah.

"Kalau kalian tetap bersikeras juga, lebih baik tidak usah menganggap kami orangtua lagi! Ayah gak butuh anak durhaka seperti kamu!" ancam Ayah padaku. Aku hanya tertunduk. Belum pernah kulihat Ayah segusar ini.

"Kamu masih sayang sama Ibu kan, Mar? Kalau kamu masih sayang dan peduli sama Ibu, tolong kamu pikirkan lagi keputusanmu, Nak.. Semua orangtua hanya ingin semua anaknya bahagia, dan kami juga ingin kamu bahagia.." Ibu mencoba meluluhkan hatiku dengan kelembutannya.

"Dan kebahagiaanku cuma bersama Tommy, Bu! Jangan mengaitkan keputusanku dengan perasaan sayangku terhadap Ibu. Tentu saja aku sayang sama Ibu.. Tapi aku juga berhak menentukan pilihanku sendiri kan, Bu? Ku mohon Ayah dan Ibu bisa mengerti.." ucapanku itu malah membuat Ayah semakin gusar, lalu mengusirku dari rumah. Ibu hanya menangis tanpa mampu menghalangi kepergianku.

Aku sudah mempertaruhkan segalanya demi Tommy, hingga membuatku menjadi anak durhaka seperti sekarang. Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi selain kekasihku itu. Setelah diusir dari rumah, aku memutuskan untuk tinggal di sebuah kontrakan di Jakarta, kota tempat tinggal Tommy.  Dia hanya sesekali saja berkunjung ke kontrakanku. Untuk menghilangkan kejenuhan, aku mengikuti kursus memasak sambil menunggu panggilan kerja dari beberapa perusahaan yang kulamar.

Satu, dua bulan pertama semuanya berjalan biasa saja. Aku begitu menikmati kebersamaanku dengan Tommy, meski tidak setiap hari bisa bertemu dengannya. Padahal, sungguh aku berharap bisa lebih dekat bahkan bisa setiap hari berada di samping Tommy, menikmati indahnya pelangi cinta dan merasakan siraman kasih sayang dari kekasih yang pertama kali kukenal melalui sebuah jejaring sosial itu.

Namun seiring waktu berjalan, aku merasakan perubahan Tommy sedikit demi sedikit. Sudah beberapa minggu ini Tommy tak pernah mengajakku jalan-jalan. Bahkan sudah dua minggu berturut-turut dia tak mengunjungiku. Dia juga mulai jarang menghubungiku. Kami berkomunikasi hanya bila aku yang terlebih dahulu menelepon atau mengiriminya pesan singkat. Awalnya aku bisa memakluminya, karena aku tahu persis kesibukan dia dalam pekerjaannya seperti apa. Namun naluri kewanitaanku yang sangat peka, merasakan ada hal yang tidak beres sedang terjadi dalam hubungan kami.

*****


“Jadi selama ini kamu selingkuh, Mas?! Kamu udah benar-benar menyakiti hatiku. Selama ini aku selalu percaya sama kamu, Mas. Aku juga udah menuruti keinginan kamu. Aku bahkan rela terusir dari rumah hanya karena lebih memilih kamu daripada kedua orangtuaku. Kenapa kamu tega sama aku, Mas? Kenapa?!” kataku dengan nada marah dan suara bergetar menahan tangis. Sore itu aku memergokinya sedang berjalan bersama wanita lain di sebuah ruko di daerah Kebon Jeruk. Ketika itu aku baru saja melakukan interview dengan HRD sebuah perusahaan penerbitan di sana.

“Sstt… Kita bicarakan ini nanti ya. Jangan di sini. Aku malu sama orang-orang. Ayo, aku antar kamu pulang. Kita bahas lagi ini di kontrakanmu ya..” Tommy berusaha menenangkanku yang tanpa sadar sudah mengundang perhatian orang-orang di sekitar kami. Aku menurutinya. Tommy meminta ijin padaku untuk berbicara sebentar pada wanita yang bersamanya tadi. Entah apa yang mereka perbincangkan.

Tiba-tiba wanita itu mendatangiku. Dengan tatapan tidak bersahabat, dia berkata padaku dengan ketus, “Heh, apa sudah tak ada pria lain lagi yang bisa kau hancurkan hidupnya selain Tommy? Dasar gila, Kau!” lalu pergi meninggalkan kami.

“Tunggu, Mir! Kamu mau pulang naik apa?” teriak Tommy setengah berlari mengejar Mira, wanita itu.

“Selangkah lagi kamu kejar wanita itu, maka kita putus!” ancamku pada Tommy.

Tommy tak mempedulikan ucapanku. Dia terus mempercepat langkahnya sambil melambai-lambaikan sesuatu dari tangannya. 

 Cukup sudah. Itu artinya Tommy lebih memilih wanita itu dibandingkan aku, kekasihnya sendiri! Aku berpaling dari posisi Tommy dan Mira. Dengan langkah cepat, aku berjalan meninggalkan tempat itu. Tak henti-hentinya aku menangis. Menangisi perubahan sikap Tommy, meratapi nasibku disia-siakan oleh orang yang sangat kusayangi. Hatiku semakin perih menyesali perbuatanku yang telah membangkang dan menyakiti hati kedua orangtuaku dulu.

“Tunggu, kamu mau kemana? Kenapa gak nunggu aku dulu? Sayang, kamu gak serius kan sama ucapanmu tadi?” tiba-tiba Tommy sudah ada di sampingku, mencoba menyamakan langkahku yang masih terus berjalan.

“Aku udah bilang, kita udah putus! Lebih baik kamu temani wanita itu!” jawabku ketus.

“Kamu jangan ngomong gitu dong, Beb. Dia bukan siapa-siapa aku. Tadi aku cuma nganterin kunci mobil kok sama dia. Ayo dong kita bicarakan ini baik-baik. Kita duduk dulu di bawah pohon itu ya..” rayu Tommy.

“Dengar ya, aku gak peduli kamu mau punya hubungan atau enggak sama wanita itu. Yang membuat aku marah sama kamu lebih karena kamu udah berubah, 180 derajat! Kamu bukan lagi Tommy yang dulu aku kenal. Aku kecewa sama kamu!” kataku sesaat sebelum menyetop sebuah taksi, lalu masuk ke dalamnya dan meninggalkan Tommy.

“Kamu salah, Mar. Aku gak pernah berubah. Aku selalu mencintaimu. Jangan tinggalkan aku, Mar.. Mar, Mariooooooooo!!!!!”

Jumat, 28 Juni 2013

Prompt #18 : SIAPA YANG LEBIH GILA?

"Hari ini adalah kematianmu, Mery. Maaf, aku harus membunuhmu!" ujar Lissa sambil mengeluarkan sebuah pisau dari balik punggungnya.

"Kamu sudah gila!" pekikku. Ternyata selama ini aku sudah mempekerjakan seorang psikopat sebagai pembantu di rumahku.

Aku berusaha mengambil apa saja untuk menghalau pisau yang terus diayun-ayunkan dan diarahkan Lissa ke perutku. Sial, dia terlalu cepat. Nyaris saja pisau itu menggores tanganku yang berusaha menarik seprai. Aku terus berpikir sambil bergerak ke sana- ke mari menghindari sabetan senjata tajam wanita gila ini.

Aku semakin terpojok dengan serangan Lissa yang membabi buta. Namun entah mendapat kekuatan darimana, tiba-tiba aku meluncurkan tubuhku ke lantai dan berusaha menjatuhkan Lissa dengan kedua kakiku. Berhasil! Lissa terjatuh dengan posisi duduk. Pisaunya terlempar beberapa meter ke kolong ranjang. Aku bergerak cepat. Bangkit lalu membungkuk dan meninju wajahnya berkali-kali hingga Ia pingsan.

Aku lalu mengambil guling dan mengeluarkannya dari dalam sarungnya. Sarung guling itu kugunakan untuk mengikat kedua kaki dan tangan Lissa.

Pertikaian sengit tadi cukup membuatku kelelahan. Aku bersandar pada dinding kamar tidurku setelah selesai mengikat Lissa.

Aku terbangun. Lissa yang tidur di sampingku, meronta-ronta dan menjerit. Aku berlari keluar dari kamar. Lissa sudah siuman. Ah, sempat-sempatnya aku tertidur dalam situasi membahayakan seperti ini! Tak kupedulikan teriakan dan sumpah serapah Lissa padaku.

"Kamu kenapa, Sayang? Kok kayak habis melihat hantu gitu?" Aldi, suamiku yang baru pulang bertanya padaku dengan khawatir.

"Lissa, Mas. Dia udah gak waras. Tadi dia berusaha membunuhku. Kamu dapat pembantu seperti itu darimana sih, Mas? Aku bisa mati tadi, Mas!" jawabku berapi-api.

"Lalu Lissa bagaimana? Dimana dia sekarang?" tanya Aldi cemas sambil memegang tanganku.

"Loh, kok kamu malah peduliin dia sih, Mas? Tadi aku berhasil membuatnya pingsan, dan sekarang  dalam kondisi terikat di kamarku. Aww.. kamu menyakiti tanganku, Mas!" Aldi malah mencengkeram tanganku dan menariknya menuju dapur.

"Apa yang mau kamu lakukan, Mas?" aku merasakan ada hal yang tak beres melihat Aldi mengambil pisau dari laci lemari.

"Sepertinya harus aku juga yang membunuhmu. Maaf ya Sayang, kalau kamu harus mati di tangan suamimu sendiri. Lissa sudah mengandung benih calon anakku. Dia yang memintaku untuk menghabisimu supaya kami bisa segera menikah.."

Minggu, 23 Juni 2013

FIXING A BROKEN HEART



Udara dingin ditambah tetesan hujan yang turun sedikit demi sedikit malam itu menjadi temanku meniti langkah menuju gerbang utama Perumahan Puri Akasia, meninggalkan rumah yang pernah aku tempati selama tiga tahun ketika masih berumahtangga dengan Dewi. Rumah cicilan itu kini sudah resmi aku alih kreditkan kepada orang lain karena aku memutuskan untuk tidak meneruskan lagi cicilannya sejak gugatan cerai istriku dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Terlalu banyak kenangan yang tersimpan di rumah itu untuk aku coba lupakan begitu saja. Bahkan sebenarnya aku juga tak yakin bisa benar-benar melupakan apa yang sedang ku alami saat ini. Ya, semuanya masih terasa seperti mimpi. Aku harus menerima kenyataan bahwa wanita yang paling ku sayangi sudah tidak ingin melanjutkan rumah tangganya lagi denganku.

"Nak Arya gak mau bawa payung Ibu? Hujannya semakin gede kayaknya tuh.." ujar Bu Sigit, salah satu tetanggaku dulu. Aku baru saja menyalaminya sambil berpamitan.

"Gak usah Bude, makasih.. Dekat kok. Cuma sampai depan gerbang aja." kataku.

"Terus taksinya udah datang belum? Apa gak sebaiknya taksinya disuruh kemari aja?" lagi-lagi Bu Sigit mencoba membantuku. Tetanggaku yang satu ini memang terkenal paling baik dan perhatian sekali dengan kami. Dia begitu terpukul ketika mendengar kabar perceraian kami.

"Katanya sih udah sampe lampu merah ITC. Mungkin sekitar dua puluh menit lagi, Bude.. Saya mau sekalian mampir ke rumah Pak RW dulu. Mari Bude. Assalammu'alaikum.." kataku lagi. Sebenarnya aku tak benar-benar akan mampir ke rumah Pak RW. Aku sudah berpamitan padanya kemarin. Aku hanya tak ingin memperpanjang percakapan dengan Bu Sigit, karena tidak tega melihat kesedihannya karena perpisahan ini.

"Wa'alaikumsalaam.. Hati-hati di jalan ya, Nak.." jawab Bu Sigit. Terlihat jelas kesedihan di raut wajahnya yang seolah tak ingin melepasku, yang sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri.

Aku sudah sampai di depan gerbang, sementara hujan entah mengapa tiba-tiba saja berhenti. Lalu beberapa saat kemudian, ada lagi yang membuatku heran. Sebuah taksi mendadak berhenti di depanku. Padahal ku pikir masih sekitar sepuluh menit lagi perkiraan taksi pesananku itu tiba.

"Mas Aryaaaa.... Hu hu hu.." seseorang tiba-tiba saja turun dari pintu belakang taksi itu, lalu buru-buru menghampiri dan memelukku sambil menangis kencang.

"Dewi..?? Kok kamu bisa ada di sini? Sama siapa?" ternyata mantan istriku yang datang. Namun dia tak langsung menjawab. Melainkan terus menangis sambil tetap memelukku.

"Hss, hss.. Sudah, sudah ah, malu nanti dilihat orang. Kita duduk aja dulu yuk.." kataku sambil berusaha menenangkan Dewi. Kami lalu mencari tempat di pinggir jalan kemudian duduk di sebuah beton pembatas trotoar.

"Aku gak tahu mesti bilang apa, Mas. Aku malu sama diriku sendiri, aku juga malu sama kamu, Mas. Sejak sidang terakhir kita, aku seperti orang bingung. Berminggu-minggu setelahnya, aku gak tenang, bahkan sampai jarang makan. Aku selalu berpikir dan merenung. Tentang segalanya. Tentang kita. Aku merasa bukan aku yang udah bikin keputusan itu. Itu adalah bagian diriku yang sangat aku benci. Aku baru menyadari bahwa aku sangat kehilangan kamu, Mas.. Aku lebih baik terus kau benci, kau sakiti tubuhku, tapi tetap bersamamu daripada harus berpisah dan menahan rindu dan kehilangan kasih sayangmu.. Aku masih sayang sama kamu, Mas.." terang Dewi setelah tangisannya mereda.
Aku terdiam sejenak. Ucapan Dewi tadi benar-benar mengejutkanku. Ku pikir dia sudah benci setengah mati padaku setelah perbuatanku yang tanpa sadar telah menampar wajahnya ketika kami bertengkar dulu. Aku memang begitu emosi ketika itu sampai akhirnya tak mampu mengontrolku untuk tidak menggunakan fisik.

"Maafin Mas ya.. Waktu itu Mas juga terlalu emosi. Kamu harus tahu bahwa hati Mas juga sakit saat sadar atas apa yang sudah Mas lakukan terhadapmu. Mas benar-benar menyesal. Mas juga masih sayang sama kamu.."

"Mas gak perlu minta maaf. Aku bisa memahaminya kok sekarang. Aku juga terlalu kekanak-kanakan dan gak bisa ngertiin kondisi Mas yang sangat sibuk. Aku egois, Mas. Maafin aku ya, Mas.."

Aku lega. Aku senang Dewi akhirnya menyadari betapa aku sangat menyayanginya, meski mungkin agak terlambat untuk dia lakukan sekarang, karena vonis talak telah dijatuhkan untuknya. Ini adalah sebuah pembelajaran bagi kami, yang memang terlalu terburu-buru memutuskan menikah di usia muda, tanpa dasar kedewasaan dalam berpikir dan bertindak. Semua keputusan selalu diambil tanpa mempertimbangkan segala resikonya.

Tapi ah, sudahlah.. Yang penting kini kami sudah sama-sama menyadarinya. Kami memang pernah sama-sama terluka karena hal ini, tapi waktu telah menyembuhkan dan memperbaikinya. Tak jadi soal apa yang mesti kami urus nanti, termasuk rumah yang akan kami tempati nanti jika urusan di Pengadilan nanti sudah selesai. Yang pasti kami terlalu bahagia saat ini..

SENGIT

Aku menahan nafas. Jantungku berdegup sangat kencang. Antara bingung dan takut melihat kejadian yang ada di depan mataku saat ini. Pikiranku berkecamuk membayangkan bakal terjadi sesuatu yang sepertinya sangat-sangat tidak menyenangkan.

Ku amati dari kejauhan, nampak dua orang pria muda yang sedang terlibat perkelahian, terlihat sedang bersiap-siap melakukan serangan ke arah lawannya masing-masing. Pria yang satu dengan tubuh sedang dan agak pendek, terlihat lebih tenang dan memilih untuk bertahan dalam posisi kuda-kudanya. Sedangkan pria kedua yang bertubuh tinggi besar, langsung melancarkan pukulan bertubi-tubi ke arah wajah dan dada si pria pertama. Namun pukulan demi pukulan selalu berhasil ditangkis oleh pria yang diserang tadi dengan gerakan lincah tanpa berusaha melakukan serangan balasan. Sepertinya dia masih menunggu kesempatan terbaik untuk menyerang dan melumpuhkan lawannya dengan cepat dan tepat.

Melihat pukulannya selalu luput, si pria kedua tak kekurangan cara. Dia mulai menggunakan kakinya untuk kembali menyerang pria pertama. Namun lagi-lagi usahanya sia-sia. Si pria pertama tadi ternyata seorang ahli beladiri, beberapa jurus taekwondo standar yang familiar cukup sering dia keluarkan. Bak seorang superhero dia terlihat gesit berkelit ke sana ke mari menghindari serangan si pria yang berpostur lebih besar darinya itu.

"Benar-benar pertarungan yang sengit!" gumamku dalam hati tanpa mengalihkan sedikitpun perhatianku pada aksi kedua pria tangguh ini.

Beberapa saat kemudian pria kedua yang tak berhenti menyerang itu tiba-tiba jatuh tersungkur sekitar sepuluh meter ke belakang. Rupanya si pria taekwondoin tadi sudah mulai melakukan serangan balasan. Dan kali ini sebuah jump kicks telak mengenai rahang dan dada si pria besar.

"Rasain! Makanya jangan cuma menang badan gede doang!" sorakku yang diam-diam memberi dukungan dan mengagumi sang taekwondoin bak seorang penggemar yang mengidolakan tokoh jagoannya.

Meski harus terhuyung-huyung menahan sakit, ia mencoba bangkit dan berjalan ke arah sang taekwondoin yang sedang berdiri dengan posisi kuda-kudanya kembali. Tapi apa itu? Pria yang sudah tersungkur tadi ternyata tidak berjalan dengan tangan kosong.. Tangan kanannya memegang sesuatu.. Oh tidaaak! Sebuah pipa besi! Entah darimana dia mendapatkannya, sementara tangan kirinya memegang dadanya yang kesakitan.

"Hei, curang kau!" teriakku lantang. Tapi sepertinya teriakanku tak berarti. Diayun-ayunkannya benda itu ke arah sang taekwondoin. Dengan sigap jagoanku itu berusaha menghindari ayunan besi tersebut. Tiga, empat kali ia berhasil menghindar, hingga ayunan yang kelima, besi itu tepat mengenai kaki kirinya ketika punggungnya tak sengaja menyenggol sebuah tiang di belakangnya. Hal itu benar-benar dimanfaatkan oleh si pria besar dengan menyerangnya secara membabi buta tanpa bisa terelakkan.

Setelah melumpuhkan kakinya, ayunan besi tadi terus menghantam tubuhnya. Perut, tangan, dan sebentar lagi kepalanya..

"Jangaaaannn! Dia bisa mati!!" teriakku kencang hingga mengagetkan semua gamers di rental PS tempat aku saat itu berada.

"Yaah.. Game over deh.. Om sih berisik banget nontonnya.." gerutu seorang bocah padaku.

"Enak aja nyalahin Om.. Kamunya aja yang gak becus maeninnya! Sini gantian, biar Om liatin cara maen yang bener gimana.." protesku, lalu mulai larut memainkan jemariku di atas joystick PS..

PUTUS (2)

Aya : "Hallo.. Arya, plis dengerin aku dulu. Aku benar-benar nyesel. Aku masih sayang sama kamu, Ar.. Bisa gak kita.."

Rio : (memotong) "Udahlah, Ay.. Kamu tuh cuma buang-buang waktu aja kayak gini. Arya gak akan mau balik lagi sama kamu. Lebih baik mulai sekarang kamu lupain aja dia."

Aya : "Loh, kok kamu Rio, yang angkat? Arya kemana? Pasti dia yang nyuruh kamu buat angkat telpon dari aku, ya kan? Rio, plis.. Tolong bilangin ke dia kalo aku sayang banget sama dia. Aku gak mau putus. Aku janji akan berubah, aku gak akan ngecewain dia lagi.."

Rio : "Loh, gak bisa gitu dong, Ay. Kamu jangan egois maksain keinginan kamu sendiri. Arya juga berhak menentukan kebahagiaannya sendiri. Dan kebahagiaan dia bukan sama kamu tapi sama aku! Ups, keceplosan.."

Aya : "Apa maksud kamu Rio? Aku benar-benar gak ngerti.."

Rio : "Aku udah putus dari Lisa. So, kami sama-sama jomblo deh sekarang.. And you know what? Jadi jomblo itu gak enak banget.."

Aya : "Tapi kalian kan.." (pingsan)

Rio : "So what? Kami sama-sama suka tantangan. Dan.. Hallo.. Aya? Hallo.. Ay, kamu kenapa?!"

PUTUS (1)

Arya : "Hallo. Ay, aku..."

Aya : (memotong) "Apa? Mau jelasin apalagi? Semuanya tuh udah jelas. Kamu selingkuh! Dan kamu melakukannya di depan mataku! Dimana sih hati nurani kamu? Dasar cowok brengsek!"


Arya : "Tapi Ay, aku cuma mau bilang.."

Aya : (memotong lagi) "Mau bilang apa? Mau bilang kalo kamu menyesal udah nyakitin perasaanku? Terus sekarang mau minta maaf gitu sama aku? Enak aja.. Gak semudah itu! Aku terlalu sakit hati sama perbuatanmu."

Arya : "Ayaaa.. Dengarin aku dulu dong..?"

Aya : "Cukup! Aku gak mau dengar apa-apa lagi dari kamu. Semuanya udah jelas, dan semuanya udah cukup buat aku. Lebih baik kita gak usah ketemuan dulu, dan kamu juga gak usah hubungi aku lagi. Ngerti?!"

Hening sesaat..

Arya : "Udah ngomelnya? Gini, Ay.. (menghela nafas) Sebenarnya dari tadi tuh aku mau bilang kalo aku pengen kita putus. Yah, kamu tahu sendiri kan kalo hubungan kita emang udah gak sehat lagi? Aku udah capek sama sikap kamu yang terlalu posesif, kekanak-kanakan, dan keras kepala. Aku juga capek selalu minta kamu buat berubah, tapi kamu seolah gak pernah mau peduli. Kamu selalu saja minta aku buat ngertiin kamu dan selalu juga aku lakukan. Tapi pernah gak sih kamu sekali saja coba ngertiin aku? Dan asal kamu tahu aja, aku gak pernah sekalipun selingkuh. Cewek yang bersamaku tadi, yang udah kamu marah-marahin habis-habisan, itu Lisa yang minta bantuanku bikin surprise buat ultah tunangannya, Rio, sahabatku!"

Aya : "Ooh.. Gitu? Yaa.. Aku kan gak tahu? Kalo gitu aku minta maaf deh. Tapi kamu gak serius kan mau minta putus?"

Arya : "Maaf, Ay. Keputusanku udah bulat. Jaga diri kamu baik-baik ya.. Bye."

Aya : "Tapi, tapi.. Aku kan masih sayang sama kamu, Arya.. Sayang! Halo.. Halooo..!!? Huwaaaaah... (nangis meraung-raung)

Tut.. Tut.. Tut..

DI SEBUAH TAMAN KANAK-KANAK

Dia gadis yang masih sangat muda dan memiliki kecantikan alami tanpa polesan yang begitu sempurna di mataku. Pandangannya menyejukkan, dengan kedua bola matanya yang indah. Senyumnya yang manis menghiasi bibirnya yang tak pernah berhenti menyapa setiap orang yang dikenalnya ketika berjumpa dengannya.

Aku pertama kali melihatnya ketika hendak melangkah menuju ruangan guru.
Beberapa hari yang lalu aku cuti dan baru hari ini aku mulai mengajar lagi. Siapa gadis itu? Cukup lama aku mengamatinya. Jantungku berdegup tak karuan, seperti ada getaran aneh ketika tanpa ku sadari dia menoleh ke arahku. Aku langsung berusaha membuang pandanganku ke arah lain, berharap dia tak curiga kalau aku sudah cukup lama memperhatikannya.

Saat itu dia terlihat sendirian di antara orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Rasanya ingin sekali aku menghampiri gadis itu dan berkenalan dengannya.

Aku memberanikan diri melangkah mendekat ke arahnya. Tapi buru-buru mengurungkan niatku setelah berjalan beberapa meter ketika tiba-tiba ada seorang wanita lain yang menghampirinya sambil membawakan sesuatu.

"Ini bekal makan siangmu ketinggalan, Nak. Jangan nakal ya. Ibu pulang dulu. Dah, Sayang.."

LAGU UNTUK SEBUAH NAMA

Entah sudah yang ke berapa kali aku melihatnya dengan sikap seperti ini. Pandanganku tak pernah mau lepas darinya. Sementara jantungku berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Seketika aku menjadi gelisah tak menentu. Kehadirannya selalu membuatku tak karuan. Menghindari terganggunya konsentrasi pekerjaanku, aku memilih pamit ke toilet sebentar dan meminta Doni untuk menggantikan posisiku membawa catatan menu yang tadinya akan ku berikan ke pengunjung cafe yang baru tiba.

Di toilet cafe aku hanya memandangi wajahku sendiri sambil tanpa sadar menyalakan air keran dari wastafel.

Mata indahnya, senyuman manis yang merekah di antara ranum bibirnya, tak pernah berhenti bermain dalam pikiranku. Pesona yang membuatku terhanyut hingga tak sanggup bagiku untuk berlama-lama setiap kali menatapnya. Keinginan untuk berbincang-bincang atau sekedar menyapanya saja, entah untuk berapa lama lagi harus tetap ku simpan dalam hati.

Bayangan wajahnya seakan ada dimana-mana, terus membuntutiku kemanapun aku pergi. Kali ini dia tampak jelas di cermin wastafel. Oh, Tuhan, ini bukan mimpi! Dia memang benar-benar ada di depan mataku!

Aku terperanjat. Jantungku semakin kencang dengan irama yang tak beraturan. Keringat dingin mulai menetes di antara daun telingaku. Aku hampir jatuh pingsan ketika dia mengagetkanku dengan suaranya yang pelan,

"Gantian, Mas.."

PELAMINAN KELABU

"Tuh kan, apa yang saya khawatirkan akhirnya terjadi juga.. SINTAAAA...!! Dimana kamu, ISTRIKUUUU??!!" teriak Rama tiba-tiba, sehingga membangunkan semua orang yang sedang tertidur di ruang tengah.

"Kunaon, Jang? Aya naon sareng Sinta teh?" Bunda yang mendengar teriakan Rama, tergopoh-gopoh keluar dari kamarnya lalu bertanya pada Rama.

"Sinta menghilang, Bunda. Saya yang ceroboh tidak bisa menjaganya.." Rama mendadak menurunkan intonasi ucapannya. Kemarahannya telah berubah menjadi kesedihan.

"Kok bisa sih? Bukannya dia tidur bersama kamu tadi?" Ayah ikut bertanya pada pria yang baru satu hari resmi menjadi menantunya itu.

"Iya, Yah.. Sinta memang tidur bersamaku. Tapi aku tertidur duluan karena terlalu capek. Begitu terbangun, Sinta udah gak ada. Aku sudah mencari kemana-mana, tapi tetap gak menemukannya.." ucapan Rama semakin terdengar menyedihkan.

"Nya entos sing sabar wae nya, Jang.. Mudah-mudahan mah Sinta enggal dipendakkan.." ujar Bunda sambil terisak.

"Gak bisa. Saya gak mungkin tinggal diam seperti ini. Saya pamit dulu Bunda, Ayah.." tiba-tiba Rama bergegas menyambar jaketnya, lalu melangkah menuju pintu depan.

"Bade kamana atuh, Jang? Kiwari kieu?" ujar Bunda sambil berusaha mencegah kepergian Rama.

"Kurasa aku tahu mesti mencari Shinta dimana.." ujar Rama.

"Apa maksudmu? Dimana kamu akan mencari Sinta?" tanya Ayah bingung.

"Rahwana. Ya, aku akan ke rumah Bajingan itu!"

"Kamu jangan gegabah, Ram.. Belum tentu dia yang sudah melarikan Sinta. Jangan coba membuat masalah baru lagi.." kata Ayah sambil memegang lengan Rama.

Wajar kalau Rama berkesimpulan seperti itu. Rahwana adalah mantan tunangan Sinta yang diputus sepihak oleh Sinta karena wanita lebih memilih menikah dengannya. Mungkin saja dendam kekasih pertama Sinta telah membutakan matanya hingga Ia nekad melakukan hal itu.

Rama tertunduk lesu. Dia hanya terdiam sambil memandangi kursi pelaminan biru saksi kebahagiaan mereka yang seolah sudah terenggut dengan paksa.

"Ada apaan sih kok rame banget?" tiba-tiba Sinta muncul di depan pintu.

"Masya Alloooh.. Ari si Eneng teh timana wae atuh? Mani nyieun ripuh ka sadayana.." Bunda langsung menubruk Sinta yang masih bingung dengan apa yang sudah terjadi.

"Tar dulu.. Ni sebenarnya ada apa sih? Aku bener-bener gak ngerti deh.. Bunda kenapa, kok pake nangis segala?" Sinta mencoba bertanya sambil berusaha melepaskan pelukan Bunda.

"Mendingan sekarang kamu jelasin dulu, kamu darimana aja? Gak bilang-bilang lagi.. Kamu udah bikin kamu semua panik, tau!" Rama tak mampu menahan emosinya.

"Sabar, Ram.. Lebih baik kita dengarkan dulu penjelasan Sinta. Ayo bicara, Nak.." Ayah dengan lembut mencoba mencairkan ketegangan.

"Yaa ampuuun.. Jadi cuma itu masalahnya? Cape deh.. Sampe segitunya sih? Aku cuma ke empang kok diantar sama..." (terpotong) Sinta berusaha memberi penjelasan.

"diantar Rahwana? Iya?!" Rama tiba-tiba memotong.

"Kamu ngomong apa sih, A? Kok jadi ke situ-situ segala? Makanya dengerin aku dulu dong sampe selesai.."

"Aku tiba-tiba sakit perut dan pengen buang air.. Kan kamu tau sendiri di sini kalo mesti mandi dan buang air harus ke empang dulu? Ya udah aku minta anterin Mang Cucu. Abis gak tega buat bangunin kamu, A.."

Kamis, 20 Juni 2013

Prompt #17 : JODOH BUAT MAMA?

Namanya Tora. Usianya tiga puluh lima tahun. Hanya terpaut selisih lima tahun lebih muda dariku. Aku mengupahnya selama dua bulan untuk menjadi guru privat Mira, anakku yang sedang mempersiapkan diri untuk ujian nasional sekolahnya. Kalau kerjanya bagus, bukan tidak mungkin aku akan memperpanjang tugasnya untuk membimbing dan mentransfer ilmunya pada anakku hingga dia bisa lolos ujian masuk perguruan tinggi negeri.
Sebenarnya tidak ada yang terlalu istimewa dan terlihat cukup menonjol dari penampilan fisiknya. Tapi entah mengapa aku selalu mengaguminya. Aku merasa nyaman dan senang berlama-lama ketika mengobrol dengannya. Gairahku sebagai seorang wanita tiba-tiba bersemi lagi setelah cukup lama aku tak pernah menjalin hubungan dengan pria, sejak kematian suamiku tujuh tahun yang lalu. Dia bukan hanya cerdas secara intelektual, tapi dia juga tahu bagaimana membuat orang lain tersihir hanya dengan mendengar suaranya saja. Apakah dia juga sadar bahwa apa yang mengalir dari bibirnya itu bisa saja membuat lawan bicaranya menaruh hati?

"Kayaknya Mama jatuh cinta lagi deh, Mir.." kataku terus terang pada Mira suatu sore.

"Benar Ma? Wah, akhirnya jodoh Mama datang juga.. Terus, siapa tuh orangnya yang beruntung kelak menjadi Papa Mira nanti?" pekik Mira girang.

"Hussh! Kamu tuh ya.. Ya gak secepat itu juga lah. Lagian Mama juga belum yakin dia punya perasaan yang sama seperti Mama."

"Tapi Mama gak akan menjalani masa pacaran segala kayak ABG kan, Ma?" tanya Mira setengah tertawa.

"Iih.. Kamu kok ya seneng banget ngeledekin Mama? Pokoknya intinya Mama perlu proses dulu buat mempertimbangkan dia itu layak atau enggak bukan buat Mama aja, tapi buat kamu juga.." jawabku.

"Aduh.. Aku jadi penasaran deh.. Siapa sih Ma orangnya? Aku kenal gak?" tanya Mira lagi.

"Nanti juga kamu tau sendiri. Oya, kamu sendiri gimana? Katanya kemarin abis jalan sama cowok ya? Kenalin dong sama Mama.." kataku berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Iya Ma. Kemarin aku jalan sama Mas Tora. Aku udah jadian Ma."

Rabu, 19 Juni 2013

CINTA SAMPAI MATI



"Aku harap kamu gak keberatan untuk tetap berkunjung ke sini, meski nanti aku udah gak ada lagi. Kasihan Ayah, Beliau pasti kesepian nanti. Anggaplah Ia sebagai ayahmu juga. Kamu mau kan, Mas?" ujar Nissa sambil terisak, membuka percakapan kami di teras rumahnya sore itu.

"Jangan ngomong gitu ah.. Kita gak boleh mendahului rencana Tuhan. Urusan hidup dan mati itu rahasia Allah. Tidak ada satu orangpun di dunia ini yang bisa menentukan, bahkan seorang dokter sekalipun. Kamu yang sabar ya, Sayang.. Nissa yang ku kenal selama ini adalah wanita yang kuat dan gak mudah putus asa. Ayo dong.. Tunjukkan bahwa kamu adalah pejuang yang tangguh. Seperti waktu kamu masih ngejar-ngejar aku dulu. Masih ingat gak? He he he.." aku berusaha menyemangati kekasihku dan mencoba mengalihkan topik pembicaraan kami. Aku tak ingin Nissa semakin terpuruk dan putus asa dengan penyakitnya.

"Iih.. Enak aja.. Siapa yang ngejar-ngejar kamu? Orang aku lagi nyomblangin kamu sama Dwi kok waktu itu.." ujar Nissa sambil mencubit pinggangku.

"Aww! Tapi akhirnya kamu kan yang malah naksir sama aku? Hayo ngaku.." kataku lagi.

"Abis keseringan ketemu sih.." Nissa terlihat malu-malu mengatakannya.

"Pengen nyomblangin apa emang kamu pengen lebih dekat sama aku? Ha ha ha.."

"Aaah.. Kamu jahat deh.." Nissa berusaha mencubitku lagi, namun kali ini aku berhasil menghindar. Kami berdua kemudian tertawa-tawa.

Aku senang telah membuatnya terhibur hari ini. Dan akan terus kulakukan setiap hari, bahkan setiap saat sambil terus menyemangatinya . Ya, hanya itu yang mampu kulakukan saat ini. Setelah dokter memvonis Nissa terserang leukemia kronis, warisan dari ibunya yang sudah lebih dahulu meninggal ketika Nissa masih kecil. Dokter berkata Nissa masih memiliki harapan hidup beberapa tahun lagi. Dan beberapa bulan terakhir ini aku rajin menemaninya menjalani kemoterapi sambil dibarengi dengan terapi obat-obatan herbal yang selalu kubawakan untuknya.
Aku sangat mencintainya. Dan tak akan ada satu hal pun yang mampu merubahnya, tidak juga penyakit mematikan itu. Jika saja test Human Leukocyte Antigen (HLA testing) yang kulakukan kemarin hasilnya positif, tentu sudah kuberikan sumsum tulang belakangku ini untuk ditransplantasi sehingga Nissa bisa sembuh. Namun aku tak pernah putus asa. Segala cara dan setiap informasi selalu ku buru demi kelangsungan hidup pujaanku itu. Wanita yang selalu ada saat aku terjatuh, yang membuat hidupku menjadi lebih bermakna sejak kehadirannya.. Andai harus ada yang pergi di antara kami, biar aku saja orangnya. Aku tak akan pernah sanggup untuk kehilangan dia. Bahkan sedetikpun tak ingin aku berpisah dengannya. Karena setiap hari aku mencintainya. Aku ingin selalu ada di sampingnya, seperti yang selalu dia lakukan untukku.

Hari demi hari, minggupun telah berganti bulan. Alhamdulillah Nissa sudah mengalami banyak
kemajuan berarti. Wajahnya sudah tidak lagi terlihat pucat, pendarahan dari mulut dan
hidungnyapun sudah tidak terjadi lagi. Sepertinya proses kemoterapi dan obat-obatan herbal yang
kami lakukan, cukup membuahkan hasil.

"Ini ajaib. Benar-benar ajaib. Mas, aku masih ingat ketika dokter berkata bahwa hanya keajaiban saja yang sanggup menyembuhkanku. Dan sekarang aku mendapatkan keajaiban itu.." Nissa berkata di ujung telepon dengan bersemangat. Hari ini aku tak bisa menemaninya ke rumah sakit karena ada agenda meeting di kantor.

"Maksud kamu, Sayang? Dokter bilang apa?" ujarku tak sabar. Aku sudah menduga Nissa pasti akan
mengabarkan sesuatu yang sangat menggembirakan bagi kami.

"Kata dokter, hasil tes lab minggu kemarin benar-benar mengejutkan. Jumlah sel-sel darah putihku berkurang mendekati kadar yang seharusnya. Sementara sel leukemianya sudah netral. Proses hematopoiesis malah sudah berjalan normal sejak beberapa minggu sebelumnya." jawab Nissa
menjelaskan.

"Jadi.. Kamu sembuh, Sayang? Alhamdulillaaah.. Terima kasih ya Allah.. Kita berhasil, Sayang!"
kataku tanpa berhenti mengucapkan syukur.

Aku tak akan membiarkan momen membahagiakan ini berlalu biasa saja. Aku akan menjadikannya
benar-benar spesial. Dan aku akan membuat kejutan untuk Nissa saat akan menjemputnya dari
rumah sakit nanti.

"Nanti pulang kerja kamu langsung ke rumah aja ya, gak\ usah jemput aku.. Aku mau pulang jam tiga." pesan Nissa.

"Ok, Sayang. Ada siapa aja di situ?" tanyaku.

"Cuma berdua aja sama Ayah. Mbak Sumi lagi pesan taksi." jawabnya.

Tak mungkin aku merelakan begitu saja kekasihku pulang tanpa kujemput dari rumah sakit. Aku akan memberinya kejutan dengan menjemputnya. Masih ada waktu sekitar dua jam lagi. Aku buru-buru menemui kepala HRD dan meminta izin untuk pulang lebih cepat. Lalu aku memacu mobilku dengan kecepatan cukup kencang menuju tempat Nissa dirawat.
Di perjalananan aku terus berpikir akan membawakan apa untuk Nissa. Aku terlalu bahagia mendengar kabar kesembuhannya hingga membuatku berbuat agak berlebihan. Ketika mobilku sampai di jalan utama, aku tiba-tiba teringat sebuah toko bunga di dekat rumah sakit. Segera kuambil ponselku dan mencoba menghubungi toko itu untuk memesan buket bunga yang akan kuambil pada saat aku tiba di sana nanti.

Tanganku mencoba meraba-raba saku celanaku ketika tak kudapati ponselku di sana. Lalu aku
menengok laci dashboard dan membukanya sambil tetap menjalankan mobil. Kadang aku biasa menaruhnya di sana setiap bepergian dengan Ertigaku. Namun sepertinya tak juga ku temukan. Aku mencoba menjangkaunya lebih dalam. Tiba- tiba.. JEGERRR!!! Mobilku tadi sedikit oleng ke kanan dan menabrak sebuah truk yang juga sedang melaju kencang dari arah yang berlawanan.

Rupanya aku telah meninggalkan ponselku di meja kerja. Hanya itu terakhir yang aku ingat. Sisanya tak ada lagi sebelum semuanya tiba-tiba menjadi gelap...

Selasa, 18 Juni 2013

MBAK DIAN

"Kamu makan dulu gih sana. Tadi Mbak abis nyobain resep baru loh.. Hasilnya? Emmm.. Pokoknya sukses deh!" ajak Mbak Dian setelah aku mengganti seragam kerjaku dengan pakaian santai lalu duduk di lantai.

"Oya? Resep apa, Mbak? Udang asem manis itu ya? Wah, jadi pengen buru-buru makan nih.." ujarku lalu berusaha bangkit dari tempat dudukku.

"Udah, Mbak aja yang ambilin. Sekalian Mbak mau temenin kamu makan." cegah Mbak Dian cepat, lalu melangkah menuju dapur.

"Loh, emang Mbak belum makan juga? Tadi pulang kerja jam berapa?" tanyaku heran.

"Ya kayak biasanya.. Jam lima. Tapi kan sampe kontrakan jam setengah enam. Abis itu Mbak langsung masak.." jawab Mbak Dian sambil menyiapkan hidangan makan malam kami di lantai.

"Sebentar, Mbak.. Aku gelar tikar dulu.."

"Kenapa Mbak gak makan duluan aja? Lama kan kalo mesti nungguin aku pulang dulu?" tanyaku sambil memasang tikar lalu membantu Mbak Dian menurunkan piring dan mangkuk-mangkuk berisi masakan.

"Ah, gak pa-pa kok.. Cuma nunggu sampe jam tujuh aja. Lagian kan lebih enak makan bareng, ya gak? Ya udah, yuk kita makan.."

Mbak Dian sudah kuanggap sebagai kakak sendiri padahal kami belum terlalu lama berteman. Kami bertemu di sebuah pusat perbelanjaan tempat Mbak Dian bekerja sebagai Supervisor retail di sana. Aku rutin berbelanja di tempat itu setiap sebulan sekali. Namun jika sedang bosan di kontrakan, aku selalu ke sana sekedar membaca-baca buku atau melihat-lihat aksesori terbaru. Dan kami selalu berjumpa setiap kali aku berkunjung. Mungkin hal itulah yang menyebabkan kami cepat sekali akrab. Mbak Dian lalu mengajakku tinggal di kontrakannya yang cukup luas. Aku langsung menerima ajakannya dengan senang hati, karena kontrakanku yang lama sudah mulai sesak dengan barang-barangku.

"Tumben hari ini kamu kok gak banyak ngomong. Lagi punya masalah ya? Hayo.. Cerita dong sama Mbak." ucapan Mbak Dian cukup mengagetkanku yang memang sedang memikirkan sesuatu.

"Ini lho Mbak, Ibuku.. Beliau tadi siang telpon aku minta ditransfer uang buat biaya masuk SMP Ferry, adikku. Aku bingung karena belum gajian Mbak.. Sedangkan tabunganku udah abis buat transfer juga waktu Bapak sakit kemarin.." jawabku sedih.

"Udah, gak usah bingung gitu.. Pake aja tabungan Mbak. Mudah-mudahan cukup. Besok kita transfer ya.." Mbak Dian langsung menawarkan bantuannya tanpa bertanya jumlah uang yang ku butuhkan.

"Waduh, jadi ngerepotin nih.. Beneran Mbak ada? Gajian besok aku ganti ya.. Tapi kalo nyicil bayarnya gak pa-pa kan, Mbak? He he.." kataku sambil menggaruk kepalaku yang tak gatal.

"Udah, kamu gak usah pikirin masalah bayarnya. Mulai sekarang kamu gak perlu sungkan ya kalo butuh bantuan Mbak. Kalo pas Mbak lagi ada, pasti Mbak bantu."

"Makasih banyak ya, Mbak. Wah, Mbak ini ternyata baik banget orangnya.. Beruntung banget aku bisa kenal Mbak bahkan bias sampai satu kontrakan gini.. He he.."

****

"Aku gak ngerti kenapa sih kayaknya kok Mbak benci banget sama Roni? Mbak tau sendiri kan dia itu orangnya baik? Kalo gak, buat apa coba dia pake ngelamar aku segala? Aku malah heran deh sama Mbak yang gak pernah sekalipun bersikap baik sama Roni. Emang dia punya salah apa sih sama Mbak?" amarahku benar-benar memuncak ketika Mbak Dian gak datang ke acara tunanganku dengan Roni.

"Mbak cuma pengen kamu dapat pasangan yang tepat dan terbaik. Itu aja.."

"Terus emangnya apa kurangnya Roni sih buat aku menurut Mbak? Ok, aku bisa ngerti waktu Mbak
minta aku buat ninggalin Mas Tama yang udah punya istri. Aku juga nurut waktu Mbak nyaranin aku putus dari Yoga yang ketauan selingkuh.. Tapi aku bener-bener gak abis pikir kalo sekarang Mbak lagi-lagi gak bisa merestui hubunganku dengan pria. Mbak gak pengen aku nikah sama Roni? Iya kan? Itu mau Mbak?" ujarku bertubi-tubi.

"Kamu gak ngerti ya, Wi.. Mbak lakukan semua ini karena Mbak sayang sama kamu.." ucapan Mbak Dian terdengar lirih.

"Iya, Mbak. Aku ngerti.. Aku juga udah anggap Mbak seperti kakakku sendiri kok.. Tapi masak iya seorang kakak gak mau datang ke acara penting adiknya?" Aku mulai menurunkan nada bicaraku. Aku khawatir ucapanku tadi akan menyinggungnya. Aku hanya ingin agar Mbak Dian bisa lebih terbuka dan mau menjelaskan mengenai sikapnya selama ini.

"Kamu gak ngerti, dan gak akan pernah bisa ngerti. Mbak sayang sama kamu bukan karena menganggap kamu sebagai adik, tapi kekasih..."

"Mbak cinta sama kamu, Dewi!"