Rabu, 05 Maret 2014

CERAI


"Loh, apa-apaan ini? Mau kemana kamu, Mas?" tanya istriku heran melihatku sibuk memasukkan baju ke dalam sebuah koper besar.

Aku sudah menduganya. Nanik pasti takkan rela kutinggalkan. Hmm.. Rasakan! Itulah akibatnya jika selalu mengabaikanku. Lihat saja, sebentar lagi dia akan mengiba-iba memohon supaya aku tidak pergi.


"Aku harus pergi. Kau sudah tak membutuhkanku lagi bukan? Kurasa ini yang terbaik. Secepatnya akan kuurus perceraian kita." jawabku tanpa menoleh sedikitpun ke arah Nanik.

"Cerai? Gila kamu, Mas! Kamu sudah yakin dengan kata-katamu barusan?"

Ya cerai. Aku memang sudah kehabisan akal untuk membuat Nanik mau mengerti. Wanita yang sudah kunikahi sejak dua tahun yang lalu itu kini sudah berubah. Dia memang seorang wanita karir bahkan sejak kami masih pacaran dulu. Aku tak pernah menuntutnya untuk berhenti bekerja meski kami sudah menikah. Aku bebaskan dia untuk mengejar cita-citanya menduduki jabatan paling tinggi di perusahaan yang sudah membuatnya menjadi seperti sekarang ini. Gaya hidup mewah dan harta benda berlimpah sudah bukan hal baru lagi baginya. Hanya saja akhir-akhir ini aku merasa dia semakin tak peduli padaku. Berangkat kerja pagi, pulang malam. Hari liburpun masih disibukkan dengan segala macam agenda kantor. Alasannya pendekatan dengan customerlah, studi bisnislah, dan tetek bengek lain yang lama-lama membuatku muak mendengarnya.
"Kenapa? Kamu gak nyangka kan? Karena kamu terlalu sibuk dengan duniamu sendiri! Kamu lupa masih ada aku yang setiap malam menyiapkan makan malam sampai makanan itu dingin. Menunggu di depan pintu sampai tertidur hanya untuk menyambut kepulanganmu. Tapi apa? Kau tak pernah peduli, bahkan kau tak pernah mau bicara kalau bukan aku yang memulainya duluan. Ah, sudahlah. Percuma saja aku bicara panjang lebar. Toh keputusanku sudah bulat. Selamat tinggal. Jaga dirimu baik-baik.."

Hening. Tak ada sepatah katapun keluar dari bibir Nanik. Aku sudah selesai memasukkan semua barangku ke dalam koper. Tinggal menunggu jawaban Nanik. Sebentar lagi. Mungkin masih ada waktu beberapa menit lagi. Aku yakin dia pasti merasa sangat shock hingga butuh waktu cukup lama untuk menjawabnya.

Sepuluh menit sudah berlalu. Ah, bagiku ini sudah terlalu lama. Aku tahu ini saatnya aku melangkah menuju pintu. Dan bila itu kulakukan, aku yakin sekali tangan Nanik akan menahanku, memeluk pinggangku dari belakang dan meminta maaf padaku sambil menangis lalu memintaku untuk tetap tinggal bersamanya.

"Aku pergi sekarang. Sampai jum..." kataku kemudian.

"Tunggu, Mas!" Nanik tiba-tiba memotong ucapanku sambil menarik bagian punggung bajuku.

Yes! Ini dia yang kutunggu-tunggu. Semua berjalan seperti yang sudah kubayangkan. Aku membuat sandiwara seolah-olah akan meninggalkan Nanik. Dan sekarang dia sudah mulai termakan oleh gertakanku. Tunggu saja, sebentar lagi dia akan meminta maaf dan memohon supaya aku tak pergi meninggalkannya.

"Tinggalkan kunci mobil serta surat-suratnya. Juga kartu kredit dan kartu ATMku yang kamu pegang. Jangan lupa juga mampir ke showroom untuk serahkan kunci duplikat showroom sekalian ambil motor bututmu dari Rio.." lanjut Nanik.

PANGERAN GALAU


Pada jaman dahulu kala di sebuah kerajaan Facebook, tinggallah seorang pangeran tampan yang bernama Arya Dwipangga.

Suatu hari, sang pangeran terlihat sangat murung. Kehidupan istana yang serba lengkap dan mewah, tak mampu mengobati hatinya yang sedang galau. Pangeran Arya yang biasanya selalu eksis untuk update status, upload foto, chatting dan bersenda gurau dengan para sahabat di dunia maya, kali ini tidak lagi. Pun sekedar online saja.

Hal ini tentu saja membuat Raja dan Ratu -kedua orangtua pangeran- menjadi sangat sedih. Merekapun segera memanggil tabib istana untuk memeriksa kondisi pangeran Arya.

"Wahai Tabib, bagaimana keadaan My Prince? Apa dia baik-baik saja?" tanya sang raja kepo.

"Ampun, Paduka Raja. Harap Paduka jangan rempong dahulu. Pangeran Arya tidak menderita penyakit yang serius. Dia hanya butuh seseorang untuk menemani kesendiriannya. Saat ini pangeran merasa kesepian meskipun memiliki banyak teman di istana maupun di dumay.." jelas sang tabib.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan supaya pangeran kembali seperti sedia kala?" tanya Ratu.

"Ampun, Paduka Ratu. Kita adakan saja sayembara di Facebook. Barangsiapa yang mampu membuat pangeran move on, dia akan mendapatkan hadiah." sahut sang tabib.
 
*****

Akhirnya sayembara pencarian calon pendamping Pangeran Arya selesai dibuat. Tim sukses istana segera mengumumkan secara resmi dan menyebarkan info sayembara ini ke seluruh penjuru kerajaan, kerajaan-kerajaan tetangga, dan seluruh media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Youtube.

"Diberitahukan kepada seluruh rakyat kerajaan Facebook, Paduka Raja mencari seorang gadis yang bisa membuat Pangeran Arya move on dari kegalauannya. Bagi yang berhasil, sebagai imbalannya akan dinikahkan dengan Pangeran. Semua rakyat kerajaan yang memenuhi syarat berhak mengikuti audisi yang akan dilaksanakan sebelum acara Spektakuler Show Indonesian Idol 2014 digelar. Harap diperhatikan, audisi ini hanya untuk WANITA, no maho or ngondek. Tidak terima barter dan tukar tambah. Terima kasih." demikian isi sayembara yang dimaksud.

Bisa dibayangkan bagaimana hebohnya Kerajaan Facebook sejak sayembara tersebut diumumkan. Semua gadis di kerajaanpun berlomba-lomba untuk mendaftar. Tak terkecuali Cinderamata, seorang gadis cantik dan baik hati namun mempunyai nasib yang sangat memprihatinkan karena selalu diperlakukan tidak adil oleh ibu dan saudara tirinya.

"Ciiiinnn.... Dimana kamu? Cepat kemari!" terdengar suara ibu tiri Cinderamata berteriak memanggilnya.

"Maaf, Bun. Cinta tadi abis liat update status Fanspage kerajaan. Pangeran Arya lagi nyari calon permaisuri, Bun." sahut Cinderamata alias Cinta setelah tergopoh-gopoh keluar dari dapur.

"Bun, Bun, Bun..! Udah berapa kali Mimi bilang, jangan panggil Mimi seperti itu! Emangnya Mimi buncis, apa?!" protes ibu tiri Cinta.

"Ups, iya Mi. Maaf Cinta lupa. Oya, Mi. Cinta boleh kan ikutan audisi?" tanya Cinta.

"Apa? Ikut? No way! Kamu di rumah aja, banyak kerjaan."

"Loh, kenapa gak boleh, Mi? Aku kan juga berhak ikut audisi itu? Plis, Mi.. Aku pengen ikut. Pangeran Arya kan idola aku bingits, Mi." rengek Cinta.

"Sekali gak boleh, tetap gak boleh! You know why? Coz Mimi juga mau ikut! Kalo kamu ikut, Mimi bisa kalah saingan nanti."

"WHAAAATT??! Sumpeh lo, Mi? Cinta ngerti sih kalo Mimi pengen nikah lagi setelah Pipi meninggal. Tapi maaf, Mi. Mimi kan udah gak gadis lagi..?"

"Terus kenapa? Masbuloh? Hari gini udah ada kélees operasi plastik yang bisa bikin Mimi jadi gadis lagi.."

Andi dan Hidayah untuk Ayah


Seorang bocah berpakaian lusuh terlihat mengusap peluh yang membasahi dahi dan pipinya. Pada pelataran sebuah mesjid, langkahnya terhenti. Disadarinya bahwa hari sudah semakin siang. Tapi sejak pagi belum ada satu orangpun yang meminta jasa Andi -bocah tersebut- untuk menyemirkan sepatu miliknya. Siswa kelas lima SD itu menatap dengan lesu kotak berisi peralatan semirnya. Kalau hari ini dia tidak pulang membawa uang, pasti ayahnya akan memarahinya lagi. Sudah tiga hari ini Andi selalu pulang dengan membawa hasil yang sangat sedikit. Kerja keras Andi setiap hari sangat menentukan apakah hari itu dia dan ayahnya bisa makan atau tidak. Ayahnya yang seorang pengangguran dan pemabuk menjadikan bocah itu sebagai tulang punggung keluarga setelah ibunya yang biasa berjualan, meninggal dunia beberapa bulan yang lalu.

"Maaf, Om, sudah jam berapa ya sekarang?" tanya Andi pada seorang pria muda yang melintas di depannya.

"11.45, Dik," sahut pria muda yang bernama Umar tersebut setelah melirik arloji di pergelangan tangannya.

"Berarti sebentar lagi azan zuhur. Terima kasih ya, Om." Andi memutuskan untuk tidak meneruskan lagi aktivitasnya menawarkan jasa semir sepatu dan memilih melepas lelah di mesjid sambil menunggu waktu salat zuhur tiba.

"Wah, rajin sekali salatmu, Dik."

"Dulu Ibu selalu mengajarkan saya untuk tidak menunda waktu salat, Om."

"Begitu ya?" Diam-diam Umar mengagumi sosok bocah yang sedang mengobrol dengannya itu.

Sangat jarang dia temui seorang bocah seperti Andi. Meski usianya masih sangat muda di tengah aktivitasnya mencari nafkah, tidak membuatnya melalaikan kewajiban sebagai seorang muslim.

"Omong-omong, sudah keliling kemana aja, Dik? Dari pagi ya?"

"Iya, Om. Cuma di ruko depan sama di sekitar perkantoran situ," ujar Andi sambil jarinya menunjuk ke suatu arah.

"Udah banyak dong nih dapatnya?" canda Umar.

"Belum dapat nih. Belum rejeki kali, Om. He he.."

Tak terasa waktu zuhurpun tiba. Setelah suara azan selesai diperdengarkan, Andi bergegas meletakkan kotak peralatan semirnya di dekat tangga mesjid. Bersama Umar, ia lalu berjalan menuju tempat mengambil wudu untuk mensucikan tubuh dari hadas dan bersiap menjalankan salat.

*****
 
"Kamu masih mau keliling lagi, Dik?" tanya Umar setelah mereka selesai melaksanakan salat zuhur.

"Enggak kok, Om. Saya mau langsung pulang aja. Soalnya harus berangkat ke sekolah. Saya masuk siang, Om," sahut Andi sambil menyampirkan kotak peralatan semir ke bahunya.

"Jadi kamu masih sekolah, Dik?" tanya Umar lagi.

"Iya. Kalau begitu saya pamit ya, Om. Mari, Om. Assalammu'alaikum."

"Oke. Hati-hati ya di jalan. Wa'alaikumsalaam."

Sebenarnya Umar masih ingin lebih lama lagi mengobrol dengan Andi. Masih banyak hal yang menarik perhatiannya untuk ia perbincangkan dengan bocah istimewa itu. Namun ia sadar, keinginannya tersebut tentu akan sangat mengganggu bagi Andi yang hanya punya waktu sedikit untuk bersiap berangkat sekolah.

"Andai ada hal lebih bernilai yang bisa kulakukan untuk anak itu," sesal Umar dalam hati ketika melihat sandal jepitnya. Jika saja ia membawa sepatunya, tentu sudah ia minta semirkan pada Andi.

Tak lama kemudian, Umar berlalu meninggalkan mesjid menuju kantor tempatnya bekerja yang berjarak hanya beberapa meter dari situ.

*****
 
Sudah sampai di depan rumah, namun Andi masih ragu untuk melangkah masuk. Masih terbayang wajah Ayahnya yang akan memarahinya habis-habisan. Kemarin saja ketika membawa uang sedikit, ayahnya sudah demikian marah. Apalagi hari ini, tak sepeserpun yang bisa ia bawa pulang ke rumah.

Sebenarnya tadi bisa saja Andi melambatkan pulang, mungkin saja ada jemaah mesjid yang ingin menggunakan jasanya. Namun ia tak ingin terlambat tiba di sekolah, karena hari ini ada ulangan.

Ditambah dengan kondisi perutnya yang kosong karena belum diisi sejak pagi, membuat kepalanya terasa pusing. Namun dengan mengucap bismillah, dipaksakan juga kakinya untuk melangkah masuk. Namun sepertinya ia tak cukup kuat, hingga hanya sanggup berjalan beberapa meter saja sebelum akhirnya ambruk ke lantai teras.

"Andiii... Kamu kenapa, Nak? Bangun, Sayang.." Tergopoh-gopoh Burhan keluar rumah setelah mendengar suara keras ketika Andi pingsan tadi.

Ayah Andi itu merasa khawatir dengan kondisi anaknya. Tak henti-hentinya ia histeris dan berusaha membangunkan Andi. Segera diangkatnya tubuh putra semata wayangnya tersebut, lalu dibaringkannya ke sebuah sofa panjang di ruang tamu. Baru saja hendak melangkah untuk mengambil minyak angin, tiba-tiba Andi terbangun dari pingsannya lalu mencoba bangkit dari posisi berbaringnya.

"Kamu sakit, Nak? Barusan kamu pingsan." Burhan duduk di samping Andi, lalu memeluk dan mengusap lembut kepala putranya tersebut.

"Kamu pasti capek. Sebentar Ayah buatkan minuman hangat dulu ya untukmu."

"Tidak usah, Ayah. Nanti Andi buat sendiri aja. Andi enggak apa-apa kok. Cuma pusing sedikit."

"Jangan bilang enggak apa-apa, Nak. Kamu pingsan tadi. Sudah, Ayah mau buatkan sekarang. Kamu tunggu sebentar ya.." pesan Burhan. Tak lama kemudian ia berlalu menuju dapur.

Seperti mendapat kejutan, Andi merasa sedikit heran sekaligus senang dengan perubahan sikap ayahnya itu. Sejak kepergian ibunya, baru kali ini Burhan bersikap lemah lembut tidak seperti biasanya. Andi merasa perhatian dan kasih sayang yang dulu hilang dari ayahnya, kini ia dapatkan kembali. Hal ini membuatnya lupa akan kondisi kesehatannya. Seolah mendapatkan energi baru, ia merasa kembali sehat seperti semula.
Ia kemudian bangkit dari duduknya. Teringat pada kotak peralatan semirnya, membuatnya melangkah menuju teras rumah.

Bermaksud untuk memindahkan kotak tersebut ke dalam rumah, tiba-tiba ia terkejut ketika melihat selembar uang lima puluh ribuan yang terlipat beberapa bagian di dalam kotak. Seseorang entah siapa telah memasukkan uang yang bagi Andi cukup besar itu tanpa sepengetahuannya.

"Ayo, Nak. Diminum dulu tehnya. Lumayan untuk menghangatkan tubuhmu. Kamu pasti belum makan apa-apa kan?" ajak Burhan setelah kembali dari dapur kemudian meletakkan segelas teh di atas meja ruang tamu.

"Tapi hari ini kita akan makan enak, Ayah. Lihat ini, ada seorang dermawan yang menyisihkan rezekinya," terang Andi sambil menunjukkan lembaran uang yang ditemukannya tadi.

"Alhamdulillaaah..” seru Burhan.

Ia merasa terharu dan semakin malu terhadap dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa selama ini perangainya sangat buruk. Segala yang terjadi hari ini seolah mengingatkan kembali betapa beruntungnya ia memiliki putra yang teramat saleh. Rezeki mereka melalui perantaraan seorang dermawan pun tentunya tak terlepas dari kesalehan putranya tersebut. Ia sekarang percaya bahwa Allah akan selalu menjaga dan mencukupi rezeki hambanya yang selalu memelihara ibadah terutama salatnya.

“Nak, ada hal yang ingin Ayah bicarakan padamu. Ke marilah..” ajak Burhan sambil menuntun Andi masuk ke dalam rumah.

“Ayah sadar selama ini telah bersikap buruk terhadapmu. Padahal kamu sudah berbuat banyak hal untuk keluarga kita, tapi Ayah seolah tak melihatnya. Ayah malah sibuk dengan perbuatan yang tidak baik. Selalu marah-marah, mabuk-mabukan,…” lanjut Burhan.

“Sudahlah, Ayah. Yang penting Ayah janji tidak akan mengulanginya lagi ya?” potong Andi.

“Kamu mau kan maafin Ayah?”

“Andi selalu maafin Ayah kok. Andi sayang sama Ayah.”

“Makasih Sayang. Ayah juga sayang Kamu, Nak. Oya besok Ayah mau nemuin Wak Haji, siapa tahu ada lowongan sopir buat Ayah.”

Betapa luar biasa senangnya Andi. Bagi Andi, tiada yang lebih membahagiakan hatinya selain mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Meski hari ini harus merasakan kelelahan hingga menyebabkan ia jatuh pingsan, namun terbayar dengan perubahan sikap yang ditunjukkan oleh ayahnya. Pingsannya ia dan rezeki yang didapatnya hari ini memberi pelajaran berharga pada ayahnya. Apa yang menjadi doa Andi selama ini supaya diberikan kemudahan dalam hidupnya termasuk agar Allah menurunkan hidayah kepada Ayahnya, akhirnya dikabulkan. Seperti salat lima waktu yang selalu ia jaga, Andi percaya bahwa Allah akan selalu menjaga serta melindungi ia dan ayahnya dari segala kesusahan.


 QS. Al-Baqarah : 45
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan jalan sabar dan mengerjakan sholat; dan sesungguhnya sholat itu amatlah berat kecuali kepada orang-orang yang khusyuk. Tiada daya dan upaya kecuali atas pertolongan Allah semata.”

Selasa, 23 Juli 2013

PUTUS (4-TAMAT)

Bagaimana dengan Aya? Setelah diputus cintanya oleh Arya, tak henti-hentinya gadis itu menyalahkan dirinya sendiri atas kenyataan pahit tersebut. Tiga bulan lamanya ia tenggelam dalam keterpurukan. Selama itulah ia mengalami masa-masa paling sulit dalam hidupnya.

Dea yang mendengar kabar tersebut, langsung terbang dari Belinyu, Sumatra Selatan menuju Palur, Jawa Tengah-tempat tinggal Aya. Sebagai sesama anggota grup New Go-Kill, ia rela melintasi pulau demi memberi semangat dan support pada sahabatnya tersebut.

Usaha Dea tidak sia-sia. Perlahan namun pasti, Aya yang awalnya selalu nampak murung, pendiam dan tertutup, kini terlihat lebih ceria. Hari-harinya diisi dengan beragam aktivitas religi. Bahkan ia sudah mulai menggunakan hijab, meski belum 100%. Satu pelajaran berharga yang telah ia dapatkan adalah, bahwa jodoh yang baik hanyalah untuk orang yang baik juga. Begitupun sebaliknya. Ia pernah bersalah telah menyia-nyiakan Arya karena sikap dan prilakunya yang buruk. Kini ia akan berusaha lebih menjaga akhlaknya, sehingga hanya jodoh yang terbaik yang akan ia dapatkan nantinya, tak peduli siapapun orangnya.

"Ada yang mau ketemu sama Lo, tuh." ujar Dea pada Aya, suatu hari sepulang dari pengajian.

"Siapa, Dea?" tanya Aya.

"Kamu liat sendiri aja. Orangnya lagi nunggu di depan." sahut Dea.

Aya langsung keluar kamar menuju ruang tamu. Dan seorang pria yang sangat ia kenal telah menunggunya di sana.

"Loh, Arya? Kamu kok bisa ada di sini?" tanya Aya pada si pria yang ternyata adalah Arya.

"Kok gitu sambutannya sama tamu? He he. Assalammu'alaikum, Bu Haji.." sahut Arya sambil bercanda.

"Wa'alaikumsala am. Aku pikir kamu ada di luar kota. Apa yang bikin kamu kembali lagi ke Palur?"

"Kamu mau tau, Ay? Kamulah alasannya. Aku senang kamu udah berubah seperti sekarang ini."

"Aku pikir kamu udah benci banget sama Aku, Arya."

"Siapa bilang? Aku gak pernah benci sama kamu. Aku selalu percaya kamu bisa berubah. Hanya saja perlu ada momen tertentu dulu buat kamu supaya kamu bisa memulainya. Dan sekarang aku bisa melihat hasilnya."

"Lalu, kamu bukan mau bilang pengen balikan lagi kan sama aku? Karena hal itu udah gak mungkin banget.."

"Ya iyalah, Ay. Aku juga ngerti kok. Dan niat aku ke sini juga bukan buat balikan lagi sama kamu.. Tapi
buat ngelamar kamu."

Sabtu, 20 Juli 2013

TIADA MAAF BAGIMU

"Sungguh biadab! Kamu memang benar-benar perempuan yang tak tahu diri! Apa kau sadar apa yang telah kau lakukan itu? Kau telah menghancurkan kepercayaan sekaligus membuatku sakit hati. Teramat sakit!" amarahku seketika meledak seolah ingin kuluapkan saat itu juga.

"Maafkan aku.. Aku benar-benar menyesal. Ku mohon jangan perlakukan aku seperti ini. Apa sudah tidak ada lagi kesempatan untukku?" kau memohon sambil memegang lenganku. Aku menepisnya.

"Apa katamu? Minta maaf? Sesudah apa yang kau lakukan padaku? Menurutmu bisa semudah itu? Mengapa tak kamu pikirkan terlebih dahulu sebelum kau lakukan perbuatanmu kemarin? Apa kamu lupa, aku pernah bilang tak akan sudi memberikan kesempatan walau hanya sekali saja kepada orang yang sudah mengkhianati kepercayaanku! Lebih baik sekarang kau pergi jauh-jauh dari hidupku! Sana pergi!" aku tak menggubris ratapanmu, bahkan dengan kasar aku mendorong tubuhmu hingga kau jatuh terduduk.

Seolah sudah tak memedulikan apapun, kamu malah memegang kakiku sambil terus memohon padaku. Aku semakin kesal melihatnya. Emosiku malah bertambah naik. Lalu aku berusaha menyingkirkan peganganmu dengan kakiku hingga menyebabkan lenganmu terjatuh ke lantai.

"Sekarang kamu baru tahu kan, apa yang akan kau dapatkan jika sekali saja membuatku sakit hati, hah?!" kataku sambil mencengkeram dagumu, lalu menghempaskannya dengan keras.

"Sekarang lebih baik kau pergi, sebelum aku berbuat lebih kasar lagi. Cepat pergi!" ujarku akhirnya.

Ya, itu yang akan kulakukan padamu nanti. Kurasa masih belum sebanding dengan apa yang sudah kamu lakukan padaku, yang dengan keji telah mencuri lipstikku..