Kamis, 04 Juli 2013

Prompt #19 : CITA CITA ADIT

sumber gambar
"Bunda..."Adit yang masih memakai seragam sekolah lengkap dengan tas yang masih melekat di punggungnya itu memanggilku.
 
'Iya, Sayang. Ada apa?" sahutku yang sedang menurunkan bungkusan-bungkusan plastik berisi sayur-mayur daganganku yang tidak habis terjual itu dari sepeda.
 
"Adit boleh kan jadi tentara?" tanyanya kemudian. Aku langsung menoleh, lalu berjongkok di hadapan Adit dan mensejajarkan pandanganku dengan wajah mungilnya.
 
"Hemmm.. Jadi jagoan Bunda ini punya cita-cita jadi tentara rupanya. Hebat, anak Bunda." jawabku sambil tersenyum, lalu membelai lembut rambut ikalnya.
 
"Tentu boleh dong, Sayang.. Adit mau jadi apapun pasti bisa. Kan Adit anak yang pintar dan pemberani. Tapi syaratnya, Adit harus rajin belajar dan selalu dengarin nasehat Bunda, ya Sayang?" kataku lagi. Adit hanya mengangguk. Entahlah aku berkata demikian hanya sekedar untuk membesarkan hatinya saja atau berharap suatu saat nanti ada keajaiban yang bisa mewujudkan cita-cita besarnya tersebut. Jujur saja sebenarnya aku masih ragu dengan masa depan anak semata wayangku itu.
 
"Tapi tadi teman-teman sekolah mengejek Adit, Bunda. Mereka bilang Adit gak akan bisa jadi tentara atau jadi apapun yang lainnya." Adit berkata lagi, namun kali ini dengan nada yang sedikit kesal. Aku pun mulai tersulut. Apa yang kudengar dari Adit barusan serasa menohok jantungku. Sakitnya tidak jauh berbeda dengan apa yang kurasakan tujuh tahun silam, ketika Adit baru lahir. Ayahnya tidak mau mengakui Adit sebagai darah dagingnya sendiri dan memilih meninggalkan kami dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Depresi? Ya, tentu saja. Namun keberadaan Adit di sisiku telah menjadi nafas dalam hidupku. Senyuman dan gelak tawanya adalah rangkaian pondasi kokoh yang telah membangun benteng ketangguhanku. Aku bangkit dari segala keterpurukanku dan melanjutkan hidupku walau kadang masih berpikir bahwa dunia tidak pernah adil terhadap diriku.
 
"Lalu, apalagi yang mereka katakan padamu? Apa mereka mengganggumu, Nak?" tanyaku dengan khawatir. Kekhawatiran yang sama seperti saat Adit kudaftarkan masuk sekolah beberapa minggu yang lalu.
 
"Enggak kok, Bun. Adit langsung mengadukan mereka ke Bu Guru, lalu Bu Guru meminta mereka untuk meminta maaf sama Adit." Ah, malaikat kecilku.. Ternyata dia jauh lebih tangguh dari apa yang kubayangkan, bahkan melebihi ibunya sendiri.
 
Kalau aku terlalu protektif terhadap Adit, kurasa itu hal yang sangat wajar. Sebagai ibu sekaligus ayahnya, aku tak ingin ada siapapun yang menyakiti atau mengganggu satu-satunya harta yang paling berharga dalam hidupku itu. Cukup aku saja yang merasakan getirnya segala cemoohan, hinaan, dan perlakuan buruk lainnya dari orang-orang di sekitar yang memandang kami dengan sebelah mata.
 
Adit masih terlalu belia untuk mengalami cobaan hidup seberat itu. Aku ingin dia menjalani kehidupannya dengan normal seperti anak-anak lain seusianya. Dan aku akan sekuat tenaga melakukan apa saja yang bisa kuberikan agar Adit mampu mewujudkan harapan dan cita-citanya.
 
"Loh, Bunda kenapa menangis? Adit udah bikin Bunda sedih ya? Maafin Adit ya, Bunda.." suara Adit tiba-tiba menghentikan lamunanku. Tak terasa airmata perlahan meleleh dari kedua mataku. Buru-buru aku menghapusnya dengan tanganku dan berharap Adit tidak ikut-ikutan bersedih.
 
"Bunda menangis bukan karena lagi sedih kok, Nak. Justru Bunda bahagia karena memiliki anak yang baik dan menyenangkan seperti kamu. Kamu adalah penyemangat Bunda dan selalu mengisi hidup Bunda dengan berjuta keindahan. Terima kasih ya, Sayang." sahutku sambil mengecup kening dan kedua pipinya, lalu membantunya melepaskan tas dari punggungnya.
 
"Oya, Bun. Tadi kan di sekolah ada pelajaran menggambar. Adit dapat nilai paling tinggi loh di kelas. Kata Bu Guru, Adit berbakat jadi pelukis. Nih, Bunda lihat deh hasil gambar Adit." terang Adit bersemangat. Tak lama kemudian, diserahkannya sebuah buku gambar kecil dari dalam tasnya.
 
                                                              sumber gambar
 
"Wah, indah sekali! Ini Adit sendiri yang buat?" ujarku takjub. Benar-benar mengagumkan. Gambar sebagus ini berasal dari goresan tangan seorang anak berusia tujuh tahun? Mungkin tak akan banyak yang percaya. Terlebih lagi jika orang-orang tahu bahwa pembuatnya menggunakan tangan yang tak ada jarinya.


#Tantangan Mingguan Monday Flash Fiction#

10 komentar:

  1. hmm... cita-cita yang bagus.. :)

    BalasHapus
  2. Bantuin doa Bang biar cita2 Adit tercapai.. He2. Btw thx mampirnya.

    BalasHapus
  3. Wow endingnya... Kata Bu Guru mungkin benar, Adit berbakat jadi pelukis ..

    BalasHapus
  4. Mgkn pgen ny Adit jd tentara yg bisa melukis x.. He2. Thx, Mba kunjungan ny..

    BalasHapus
  5. Lukisannya baguuus :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Copas. Cerita ny jg dkomen donk,Mba Nina..

      Hapus
  6. Balasan
    1. Wow, ciyus nih? He2. Akhirny x ini g dkomplen. Hore!

      Hapus
  7. ceritanya bagus. dibacanya enak.

    tapi lukisan ilustrasinya bikin ilfil. itu lukisan cat minyak di atas kanvas. ga mungkin dibuat di buku gambar... *tetep komplain*

    BalasHapus
  8. Lukisan cat air kan bisa jg, Mba. n cat air msh bisa pke mdia buku gmbr. *tetep ngeles*

    BalasHapus