Selasa, 18 Juni 2013

TOPI


Sepertinya mataku tak pernah mau kehilangan objek pandangannya setiap kali melewati sebuah lapangan kecil dimana terdapat beberapa penjual yang berdagang di sekitar lapangan itu. Tempatnya selalu ramai, bukan hanya karena banyak anak-anak maupun para remaja yang bermain bola, tapi juga oleh orang-orang yang berbelanja barang dagangan yang dijual di sana. Kebanyakan yang dijual adalah makanan dan minuman, namun ada juga yang berjualan mainan anak-anak, pakaian, dvd bajakan, dan aksesoris ponsel. Mungkin karena hari Minggu, jadi banyak penjual yang memanfaatkan hal ini untuk mencari keuntungan dari banyaknya pengunjung yang datang.

Namun ada satu penjual yang selalu saja mengusik pikiranku. Aku selalu menyempatkan diri melempar pandangan sekilas ke arah si penjual dari kejauhan, di atas sepeda motor yang ku kendarai. Bahkan kadang-kadang aku berhenti sebentar hanya sekedar untuk menatapnya lebih jelas dan memperhatikan apa saja yang dia lakukan.

Dia seorang kakek yang sangat renta. Rambutnya sudah memutih, hampir tak ada yang terlihat berwarna hitam. Kulit keriputnya membungkus tubuhnya yang kurus dan ringkih. Wajahnya nampak kelelahan, tangan kanannya selalu saja mengibas-ngibaskan kertas koran ke arah wajah dan dadanya.

"Mungkin kepanasan.." pikirku. Kompor tempat dia memasak gorengan yang dijualnya pasti mengeluarkan hawa panas. Apalagi setahuku dia berjualan dari pagi hingga sore. Tentunya suhu udara siang hari bakal 'kenyang' membakar seluruh tubuhnya yang hanya berbalut pakaian seadanya.

Topi..
Ya, tak ada topi yang menghiasi kepalanya. Padahal menurutku benda itu sangat berguna sekali. Bukan hanya melindungi wajah dan kepalanya dari terik matahari, tapi juga bisa dipakai sekedar untuk dikipas-kipaskan. Dan selalu saja hal itu yang kupikirkan setiap melihat si kakek. Rasanya ingin sekali ku persembahkan sebuah topi untuknya, pasti dia akan merasa sangat senang sekali.

Sudah tiga pekan aku selalu melihatnya berjualan di sana. Di pekan ke empat nanti, aku sudah berjanji akan membelikan si kakek sebuah topi.

Namun kesibukan rupanya telah membuatku terlalu meremehkan janjiku itu. Di pekan ke empat ketika melewatinya lagi, aku gagal menepati janjiku.

Di pekan ke lima aku benar-benar merasa kecewa pada diriku sendiri karena lagi-lagi lupa dengan janjiku.

Akhirnya aku baru bisa mewujudkan niatku itu pada pekan ke enam, ketika dengan hati riang aku membawa sebuah bungkusan berisi topi untuk ku berikan pada si kakek. Topi koboi berbahan kain berwarna biru yang terlihat nyaman dipakai. Mudah-mudahan saja cocok untuk ukuran kepala si kakek

Aku bergegas mendekatkan sepeda motorku ke arah pinggir lapangan tempat si kakek biasa mangkal di sana. Tak sabar rasanya memberikan bungkusan ini dan membayangkan si kakek tak akan kepanasan lagi.

Tapi.. Mengapa aku tak melihat si kakek? Apakah hari ini dia tidak berjualan? Posisi tempat dia meletakkan pikulan dagangannya juga terlihat kosong.

"Maaf, Bang.. Kakek yang biasa jualan gorengan di sini kemana ya? Tahu tidak?" aku bertanya pada penjual minuman dingin yang ada di sebelah posisi tempat jualan si kakek.

"Ooo.. Abah Sarta..? Udah meninggal Mas, pas seminggu yang lalu.." jawabnya.

Aku langsung terdiam. Bungkusan yang ingin kuberikan pada Abah Sarta tak terasa jatuh dari genggamanku. Aku merasa jadi orang paling bodoh sedunia saat itu. Berjuta penyesalan dan rasa bersalah berkecamuk dalam hatiku. Andai aku bisa memberikan topi itu lebih awal.. Andai aku tidak selalu melupakan janjiku.. Memang topi itu takkan mampu menghentikan takdir Tuhan 'memanggil' Abah Sarta, tapi setidaknya aku masih punya kesempatan lebih lama untuk melihat senyum di wajah kakek itu di balik sebuah topi yang ku berikan padanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar