"Kalau kalian tetap
bersikeras juga, lebih baik tidak usah menganggap kami orangtua lagi! Ayah gak
butuh anak durhaka seperti kamu!" ancam Ayah padaku. Aku hanya tertunduk.
Belum pernah kulihat Ayah segusar ini.
"Kamu masih sayang sama Ibu
kan, Mar? Kalau kamu masih sayang dan peduli sama Ibu, tolong kamu pikirkan
lagi keputusanmu, Nak.. Semua orangtua hanya ingin semua anaknya bahagia, dan
kami juga ingin kamu bahagia.." Ibu mencoba meluluhkan hatiku dengan
kelembutannya.
"Dan kebahagiaanku cuma
bersama Tommy, Bu! Jangan mengaitkan keputusanku dengan perasaan sayangku
terhadap Ibu. Tentu saja aku sayang sama Ibu.. Tapi aku juga berhak menentukan
pilihanku sendiri kan, Bu? Ku mohon Ayah dan Ibu bisa mengerti.." ucapanku
itu malah membuat Ayah semakin gusar, lalu mengusirku dari rumah. Ibu hanya
menangis tanpa mampu menghalangi kepergianku.
Aku sudah mempertaruhkan
segalanya demi Tommy, hingga membuatku menjadi anak durhaka seperti sekarang.
Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi selain kekasihku itu. Setelah diusir dari
rumah, aku memutuskan untuk tinggal di sebuah kontrakan di Jakarta, kota tempat
tinggal Tommy. Dia hanya sesekali saja
berkunjung ke kontrakanku. Untuk menghilangkan kejenuhan, aku mengikuti kursus
memasak sambil menunggu panggilan kerja dari beberapa perusahaan yang kulamar.
Satu, dua bulan pertama semuanya
berjalan biasa saja. Aku begitu menikmati kebersamaanku dengan Tommy, meski
tidak setiap hari bisa bertemu dengannya. Padahal, sungguh aku berharap bisa
lebih dekat bahkan bisa setiap hari berada di samping Tommy, menikmati indahnya
pelangi cinta dan merasakan siraman kasih sayang dari kekasih yang pertama kali
kukenal melalui sebuah jejaring sosial itu.
Namun seiring waktu berjalan, aku
merasakan perubahan Tommy sedikit demi sedikit. Sudah beberapa minggu ini Tommy
tak pernah mengajakku jalan-jalan. Bahkan sudah dua minggu berturut-turut dia
tak mengunjungiku. Dia juga mulai jarang menghubungiku. Kami berkomunikasi
hanya bila aku yang terlebih dahulu menelepon atau mengiriminya pesan singkat.
Awalnya aku bisa memakluminya, karena aku tahu persis kesibukan dia dalam
pekerjaannya seperti apa. Namun naluri kewanitaanku yang sangat peka, merasakan
ada hal yang tidak beres sedang terjadi dalam hubungan kami.
*****
“Jadi selama ini kamu selingkuh,
Mas?! Kamu udah benar-benar menyakiti hatiku. Selama ini aku selalu percaya
sama kamu, Mas. Aku juga udah menuruti keinginan kamu. Aku bahkan rela terusir
dari rumah hanya karena lebih memilih kamu daripada kedua orangtuaku. Kenapa
kamu tega sama aku, Mas? Kenapa?!” kataku dengan nada marah dan suara bergetar
menahan tangis. Sore itu aku memergokinya sedang berjalan bersama wanita lain
di sebuah ruko di daerah Kebon Jeruk. Ketika itu aku baru saja melakukan
interview dengan HRD sebuah perusahaan penerbitan di sana.
“Sstt… Kita bicarakan ini nanti
ya. Jangan di sini. Aku malu sama orang-orang. Ayo, aku antar kamu pulang. Kita
bahas lagi ini di kontrakanmu ya..” Tommy berusaha menenangkanku yang tanpa
sadar sudah mengundang perhatian orang-orang di sekitar kami. Aku menurutinya.
Tommy meminta ijin padaku untuk berbicara sebentar pada wanita yang bersamanya
tadi. Entah apa yang mereka perbincangkan.
Tiba-tiba wanita itu
mendatangiku. Dengan tatapan tidak bersahabat, dia berkata padaku dengan ketus,
“Heh, apa sudah tak ada pria lain lagi yang bisa kau hancurkan hidupnya selain
Tommy? Dasar gila, Kau!” lalu pergi meninggalkan kami.
“Tunggu, Mir! Kamu mau pulang
naik apa?” teriak Tommy setengah berlari mengejar Mira, wanita itu.
“Selangkah lagi kamu kejar wanita
itu, maka kita putus!” ancamku pada Tommy.
Tommy tak mempedulikan ucapanku.
Dia terus mempercepat langkahnya sambil melambai-lambaikan sesuatu dari
tangannya.
Cukup sudah. Itu artinya Tommy lebih memilih
wanita itu dibandingkan aku, kekasihnya sendiri! Aku berpaling dari posisi
Tommy dan Mira. Dengan langkah cepat, aku berjalan meninggalkan tempat itu. Tak
henti-hentinya aku menangis. Menangisi perubahan sikap Tommy, meratapi nasibku
disia-siakan oleh orang yang sangat kusayangi. Hatiku semakin perih menyesali
perbuatanku yang telah membangkang dan menyakiti hati kedua orangtuaku dulu.
“Tunggu, kamu mau kemana? Kenapa
gak nunggu aku dulu? Sayang, kamu gak serius kan sama ucapanmu tadi?” tiba-tiba
Tommy sudah ada di sampingku, mencoba menyamakan langkahku yang masih terus
berjalan.
“Aku udah bilang, kita udah
putus! Lebih baik kamu temani wanita itu!” jawabku ketus.
“Kamu jangan ngomong gitu dong,
Beb. Dia bukan siapa-siapa aku. Tadi aku cuma nganterin kunci mobil kok sama
dia. Ayo dong kita bicarakan ini baik-baik. Kita duduk dulu di bawah pohon itu
ya..” rayu Tommy.
“Dengar ya, aku gak peduli kamu
mau punya hubungan atau enggak sama wanita itu. Yang membuat aku marah sama
kamu lebih karena kamu udah berubah, 180 derajat! Kamu bukan lagi Tommy yang
dulu aku kenal. Aku kecewa sama kamu!” kataku sesaat sebelum menyetop sebuah
taksi, lalu masuk ke dalamnya dan meninggalkan Tommy.
“Kamu salah, Mar. Aku gak pernah
berubah. Aku selalu mencintaimu. Jangan tinggalkan aku, Mar.. Mar,
Mariooooooooo!!!!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar