Sabtu, 29 Juni 2013

DEMI TOMMY

Jika ada pasangan kekasih yang harus tertatih mempertahankan kebahagiaan cintanya karena terhalang oleh egoisme kedua orangtua, maka kami adalah salah satunya. Aku dan Tommy telah menjalin hubungan yang cukup lama, lima tahun! Namun terancam kandas hanya dalam hitungan Beberapa menit saja karena kedua orangtua kami yang dengan tegas menolak memberikan restu mereka ketika kami menyampaikan maksud untuk menikah.

"Kalau kalian tetap bersikeras juga, lebih baik tidak usah menganggap kami orangtua lagi! Ayah gak butuh anak durhaka seperti kamu!" ancam Ayah padaku. Aku hanya tertunduk. Belum pernah kulihat Ayah segusar ini.

"Kamu masih sayang sama Ibu kan, Mar? Kalau kamu masih sayang dan peduli sama Ibu, tolong kamu pikirkan lagi keputusanmu, Nak.. Semua orangtua hanya ingin semua anaknya bahagia, dan kami juga ingin kamu bahagia.." Ibu mencoba meluluhkan hatiku dengan kelembutannya.

"Dan kebahagiaanku cuma bersama Tommy, Bu! Jangan mengaitkan keputusanku dengan perasaan sayangku terhadap Ibu. Tentu saja aku sayang sama Ibu.. Tapi aku juga berhak menentukan pilihanku sendiri kan, Bu? Ku mohon Ayah dan Ibu bisa mengerti.." ucapanku itu malah membuat Ayah semakin gusar, lalu mengusirku dari rumah. Ibu hanya menangis tanpa mampu menghalangi kepergianku.

Aku sudah mempertaruhkan segalanya demi Tommy, hingga membuatku menjadi anak durhaka seperti sekarang. Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi selain kekasihku itu. Setelah diusir dari rumah, aku memutuskan untuk tinggal di sebuah kontrakan di Jakarta, kota tempat tinggal Tommy.  Dia hanya sesekali saja berkunjung ke kontrakanku. Untuk menghilangkan kejenuhan, aku mengikuti kursus memasak sambil menunggu panggilan kerja dari beberapa perusahaan yang kulamar.

Satu, dua bulan pertama semuanya berjalan biasa saja. Aku begitu menikmati kebersamaanku dengan Tommy, meski tidak setiap hari bisa bertemu dengannya. Padahal, sungguh aku berharap bisa lebih dekat bahkan bisa setiap hari berada di samping Tommy, menikmati indahnya pelangi cinta dan merasakan siraman kasih sayang dari kekasih yang pertama kali kukenal melalui sebuah jejaring sosial itu.

Namun seiring waktu berjalan, aku merasakan perubahan Tommy sedikit demi sedikit. Sudah beberapa minggu ini Tommy tak pernah mengajakku jalan-jalan. Bahkan sudah dua minggu berturut-turut dia tak mengunjungiku. Dia juga mulai jarang menghubungiku. Kami berkomunikasi hanya bila aku yang terlebih dahulu menelepon atau mengiriminya pesan singkat. Awalnya aku bisa memakluminya, karena aku tahu persis kesibukan dia dalam pekerjaannya seperti apa. Namun naluri kewanitaanku yang sangat peka, merasakan ada hal yang tidak beres sedang terjadi dalam hubungan kami.

*****


“Jadi selama ini kamu selingkuh, Mas?! Kamu udah benar-benar menyakiti hatiku. Selama ini aku selalu percaya sama kamu, Mas. Aku juga udah menuruti keinginan kamu. Aku bahkan rela terusir dari rumah hanya karena lebih memilih kamu daripada kedua orangtuaku. Kenapa kamu tega sama aku, Mas? Kenapa?!” kataku dengan nada marah dan suara bergetar menahan tangis. Sore itu aku memergokinya sedang berjalan bersama wanita lain di sebuah ruko di daerah Kebon Jeruk. Ketika itu aku baru saja melakukan interview dengan HRD sebuah perusahaan penerbitan di sana.

“Sstt… Kita bicarakan ini nanti ya. Jangan di sini. Aku malu sama orang-orang. Ayo, aku antar kamu pulang. Kita bahas lagi ini di kontrakanmu ya..” Tommy berusaha menenangkanku yang tanpa sadar sudah mengundang perhatian orang-orang di sekitar kami. Aku menurutinya. Tommy meminta ijin padaku untuk berbicara sebentar pada wanita yang bersamanya tadi. Entah apa yang mereka perbincangkan.

Tiba-tiba wanita itu mendatangiku. Dengan tatapan tidak bersahabat, dia berkata padaku dengan ketus, “Heh, apa sudah tak ada pria lain lagi yang bisa kau hancurkan hidupnya selain Tommy? Dasar gila, Kau!” lalu pergi meninggalkan kami.

“Tunggu, Mir! Kamu mau pulang naik apa?” teriak Tommy setengah berlari mengejar Mira, wanita itu.

“Selangkah lagi kamu kejar wanita itu, maka kita putus!” ancamku pada Tommy.

Tommy tak mempedulikan ucapanku. Dia terus mempercepat langkahnya sambil melambai-lambaikan sesuatu dari tangannya. 

 Cukup sudah. Itu artinya Tommy lebih memilih wanita itu dibandingkan aku, kekasihnya sendiri! Aku berpaling dari posisi Tommy dan Mira. Dengan langkah cepat, aku berjalan meninggalkan tempat itu. Tak henti-hentinya aku menangis. Menangisi perubahan sikap Tommy, meratapi nasibku disia-siakan oleh orang yang sangat kusayangi. Hatiku semakin perih menyesali perbuatanku yang telah membangkang dan menyakiti hati kedua orangtuaku dulu.

“Tunggu, kamu mau kemana? Kenapa gak nunggu aku dulu? Sayang, kamu gak serius kan sama ucapanmu tadi?” tiba-tiba Tommy sudah ada di sampingku, mencoba menyamakan langkahku yang masih terus berjalan.

“Aku udah bilang, kita udah putus! Lebih baik kamu temani wanita itu!” jawabku ketus.

“Kamu jangan ngomong gitu dong, Beb. Dia bukan siapa-siapa aku. Tadi aku cuma nganterin kunci mobil kok sama dia. Ayo dong kita bicarakan ini baik-baik. Kita duduk dulu di bawah pohon itu ya..” rayu Tommy.

“Dengar ya, aku gak peduli kamu mau punya hubungan atau enggak sama wanita itu. Yang membuat aku marah sama kamu lebih karena kamu udah berubah, 180 derajat! Kamu bukan lagi Tommy yang dulu aku kenal. Aku kecewa sama kamu!” kataku sesaat sebelum menyetop sebuah taksi, lalu masuk ke dalamnya dan meninggalkan Tommy.

“Kamu salah, Mar. Aku gak pernah berubah. Aku selalu mencintaimu. Jangan tinggalkan aku, Mar.. Mar, Mariooooooooo!!!!!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar