Minggu, 23 Juni 2013

FIXING A BROKEN HEART



Udara dingin ditambah tetesan hujan yang turun sedikit demi sedikit malam itu menjadi temanku meniti langkah menuju gerbang utama Perumahan Puri Akasia, meninggalkan rumah yang pernah aku tempati selama tiga tahun ketika masih berumahtangga dengan Dewi. Rumah cicilan itu kini sudah resmi aku alih kreditkan kepada orang lain karena aku memutuskan untuk tidak meneruskan lagi cicilannya sejak gugatan cerai istriku dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Terlalu banyak kenangan yang tersimpan di rumah itu untuk aku coba lupakan begitu saja. Bahkan sebenarnya aku juga tak yakin bisa benar-benar melupakan apa yang sedang ku alami saat ini. Ya, semuanya masih terasa seperti mimpi. Aku harus menerima kenyataan bahwa wanita yang paling ku sayangi sudah tidak ingin melanjutkan rumah tangganya lagi denganku.

"Nak Arya gak mau bawa payung Ibu? Hujannya semakin gede kayaknya tuh.." ujar Bu Sigit, salah satu tetanggaku dulu. Aku baru saja menyalaminya sambil berpamitan.

"Gak usah Bude, makasih.. Dekat kok. Cuma sampai depan gerbang aja." kataku.

"Terus taksinya udah datang belum? Apa gak sebaiknya taksinya disuruh kemari aja?" lagi-lagi Bu Sigit mencoba membantuku. Tetanggaku yang satu ini memang terkenal paling baik dan perhatian sekali dengan kami. Dia begitu terpukul ketika mendengar kabar perceraian kami.

"Katanya sih udah sampe lampu merah ITC. Mungkin sekitar dua puluh menit lagi, Bude.. Saya mau sekalian mampir ke rumah Pak RW dulu. Mari Bude. Assalammu'alaikum.." kataku lagi. Sebenarnya aku tak benar-benar akan mampir ke rumah Pak RW. Aku sudah berpamitan padanya kemarin. Aku hanya tak ingin memperpanjang percakapan dengan Bu Sigit, karena tidak tega melihat kesedihannya karena perpisahan ini.

"Wa'alaikumsalaam.. Hati-hati di jalan ya, Nak.." jawab Bu Sigit. Terlihat jelas kesedihan di raut wajahnya yang seolah tak ingin melepasku, yang sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri.

Aku sudah sampai di depan gerbang, sementara hujan entah mengapa tiba-tiba saja berhenti. Lalu beberapa saat kemudian, ada lagi yang membuatku heran. Sebuah taksi mendadak berhenti di depanku. Padahal ku pikir masih sekitar sepuluh menit lagi perkiraan taksi pesananku itu tiba.

"Mas Aryaaaa.... Hu hu hu.." seseorang tiba-tiba saja turun dari pintu belakang taksi itu, lalu buru-buru menghampiri dan memelukku sambil menangis kencang.

"Dewi..?? Kok kamu bisa ada di sini? Sama siapa?" ternyata mantan istriku yang datang. Namun dia tak langsung menjawab. Melainkan terus menangis sambil tetap memelukku.

"Hss, hss.. Sudah, sudah ah, malu nanti dilihat orang. Kita duduk aja dulu yuk.." kataku sambil berusaha menenangkan Dewi. Kami lalu mencari tempat di pinggir jalan kemudian duduk di sebuah beton pembatas trotoar.

"Aku gak tahu mesti bilang apa, Mas. Aku malu sama diriku sendiri, aku juga malu sama kamu, Mas. Sejak sidang terakhir kita, aku seperti orang bingung. Berminggu-minggu setelahnya, aku gak tenang, bahkan sampai jarang makan. Aku selalu berpikir dan merenung. Tentang segalanya. Tentang kita. Aku merasa bukan aku yang udah bikin keputusan itu. Itu adalah bagian diriku yang sangat aku benci. Aku baru menyadari bahwa aku sangat kehilangan kamu, Mas.. Aku lebih baik terus kau benci, kau sakiti tubuhku, tapi tetap bersamamu daripada harus berpisah dan menahan rindu dan kehilangan kasih sayangmu.. Aku masih sayang sama kamu, Mas.." terang Dewi setelah tangisannya mereda.
Aku terdiam sejenak. Ucapan Dewi tadi benar-benar mengejutkanku. Ku pikir dia sudah benci setengah mati padaku setelah perbuatanku yang tanpa sadar telah menampar wajahnya ketika kami bertengkar dulu. Aku memang begitu emosi ketika itu sampai akhirnya tak mampu mengontrolku untuk tidak menggunakan fisik.

"Maafin Mas ya.. Waktu itu Mas juga terlalu emosi. Kamu harus tahu bahwa hati Mas juga sakit saat sadar atas apa yang sudah Mas lakukan terhadapmu. Mas benar-benar menyesal. Mas juga masih sayang sama kamu.."

"Mas gak perlu minta maaf. Aku bisa memahaminya kok sekarang. Aku juga terlalu kekanak-kanakan dan gak bisa ngertiin kondisi Mas yang sangat sibuk. Aku egois, Mas. Maafin aku ya, Mas.."

Aku lega. Aku senang Dewi akhirnya menyadari betapa aku sangat menyayanginya, meski mungkin agak terlambat untuk dia lakukan sekarang, karena vonis talak telah dijatuhkan untuknya. Ini adalah sebuah pembelajaran bagi kami, yang memang terlalu terburu-buru memutuskan menikah di usia muda, tanpa dasar kedewasaan dalam berpikir dan bertindak. Semua keputusan selalu diambil tanpa mempertimbangkan segala resikonya.

Tapi ah, sudahlah.. Yang penting kini kami sudah sama-sama menyadarinya. Kami memang pernah sama-sama terluka karena hal ini, tapi waktu telah menyembuhkan dan memperbaikinya. Tak jadi soal apa yang mesti kami urus nanti, termasuk rumah yang akan kami tempati nanti jika urusan di Pengadilan nanti sudah selesai. Yang pasti kami terlalu bahagia saat ini..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar