Udara dingin ditambah tetesan hujan yang turun sedikit demi sedikit
malam itu menjadi temanku meniti langkah menuju gerbang utama Perumahan
Puri Akasia, meninggalkan rumah yang pernah aku tempati selama tiga
tahun ketika masih berumahtangga dengan Dewi. Rumah cicilan itu kini
sudah resmi aku alih kreditkan kepada orang lain karena aku memutuskan
untuk tidak meneruskan lagi cicilannya sejak gugatan cerai istriku
dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Terlalu banyak
kenangan yang tersimpan di rumah itu untuk aku coba lupakan begitu
saja. Bahkan sebenarnya aku juga tak yakin bisa benar-benar melupakan
apa yang sedang ku alami saat ini. Ya, semuanya masih terasa seperti
mimpi. Aku harus menerima kenyataan bahwa wanita yang paling ku sayangi
sudah tidak ingin melanjutkan rumah tangganya lagi denganku.
"Nak Arya gak mau bawa payung Ibu? Hujannya semakin gede kayaknya tuh.."
ujar Bu Sigit, salah satu tetanggaku dulu. Aku baru saja menyalaminya
sambil berpamitan. "Gak usah Bude, makasih.. Dekat kok. Cuma sampai depan gerbang aja." kataku.
"Terus taksinya udah datang belum? Apa gak sebaiknya taksinya disuruh
kemari aja?" lagi-lagi Bu Sigit mencoba membantuku. Tetanggaku yang satu
ini memang terkenal paling baik dan perhatian sekali dengan kami. Dia
begitu terpukul ketika mendengar kabar perceraian kami.
"Katanya sih udah sampe lampu merah ITC. Mungkin sekitar dua puluh menit
lagi, Bude.. Saya mau sekalian mampir ke rumah Pak RW dulu. Mari Bude.
Assalammu'alaikum.." kataku lagi. Sebenarnya aku tak benar-benar akan
mampir ke rumah Pak RW. Aku sudah berpamitan padanya kemarin. Aku hanya
tak ingin memperpanjang percakapan dengan Bu Sigit, karena tidak tega
melihat kesedihannya karena perpisahan ini. "Wa'alaikumsalaam..
Hati-hati di jalan ya, Nak.." jawab Bu Sigit. Terlihat jelas kesedihan
di raut wajahnya yang seolah tak ingin melepasku, yang sudah dianggapnya
seperti anaknya sendiri. Aku sudah sampai di depan gerbang,
sementara hujan entah mengapa tiba-tiba saja berhenti. Lalu beberapa
saat kemudian, ada lagi yang membuatku heran. Sebuah taksi mendadak
berhenti di depanku. Padahal ku pikir masih sekitar sepuluh menit lagi
perkiraan taksi pesananku itu tiba. "Mas Aryaaaa.... Hu hu
hu.." seseorang tiba-tiba saja turun dari pintu belakang taksi itu, lalu
buru-buru menghampiri dan memelukku sambil menangis kencang.
"Dewi..?? Kok kamu bisa ada di sini? Sama siapa?" ternyata mantan
istriku yang datang. Namun dia tak langsung menjawab. Melainkan terus
menangis sambil tetap memelukku. "Hss, hss.. Sudah, sudah ah,
malu nanti dilihat orang. Kita duduk aja dulu yuk.." kataku sambil
berusaha menenangkan Dewi. Kami lalu mencari tempat di pinggir jalan
kemudian duduk di sebuah beton pembatas trotoar. "Aku gak tahu
mesti bilang apa, Mas. Aku malu sama diriku sendiri, aku juga malu sama
kamu, Mas. Sejak sidang terakhir kita, aku seperti orang bingung.
Berminggu-minggu setelahnya, aku gak tenang, bahkan sampai jarang makan.
Aku selalu berpikir dan merenung. Tentang segalanya. Tentang kita. Aku
merasa bukan aku yang udah bikin keputusan itu. Itu adalah bagian diriku
yang sangat aku benci. Aku baru menyadari bahwa aku sangat kehilangan
kamu, Mas.. Aku lebih baik terus kau benci, kau sakiti tubuhku, tapi
tetap bersamamu daripada harus berpisah dan menahan rindu dan kehilangan
kasih sayangmu.. Aku masih sayang sama kamu, Mas.." terang Dewi setelah
tangisannya mereda. Aku terdiam sejenak. Ucapan Dewi tadi
benar-benar mengejutkanku. Ku pikir dia sudah benci setengah mati padaku
setelah perbuatanku yang tanpa sadar telah menampar wajahnya ketika
kami bertengkar dulu. Aku memang begitu emosi ketika itu sampai akhirnya
tak mampu mengontrolku untuk tidak menggunakan fisik. "Maafin
Mas ya.. Waktu itu Mas juga terlalu emosi. Kamu harus tahu bahwa hati
Mas juga sakit saat sadar atas apa yang sudah Mas lakukan terhadapmu.
Mas benar-benar menyesal. Mas juga masih sayang sama kamu.."
"Mas gak perlu minta maaf. Aku bisa memahaminya kok sekarang. Aku juga
terlalu kekanak-kanakan dan gak bisa ngertiin kondisi Mas yang sangat
sibuk. Aku egois, Mas. Maafin aku ya, Mas.." Aku lega. Aku
senang Dewi akhirnya menyadari betapa aku sangat menyayanginya, meski
mungkin agak terlambat untuk dia lakukan sekarang, karena vonis talak
telah dijatuhkan untuknya. Ini adalah sebuah pembelajaran bagi kami,
yang memang terlalu terburu-buru memutuskan menikah di usia muda, tanpa
dasar kedewasaan dalam berpikir dan bertindak. Semua keputusan selalu
diambil tanpa mempertimbangkan segala resikonya. Tapi ah,
sudahlah.. Yang penting kini kami sudah sama-sama menyadarinya. Kami
memang pernah sama-sama terluka karena hal ini, tapi waktu telah
menyembuhkan dan memperbaikinya. Tak jadi soal apa yang mesti kami urus
nanti, termasuk rumah yang akan kami tempati nanti jika urusan di
Pengadilan nanti sudah selesai. Yang pasti kami terlalu bahagia saat
ini..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar